Bagaimana mungkin WhatsApp sampai bisa meloloskan konten dari layanannya dengan format GIF?
Untuk perusahaan digital yang beroperasi secara global, memang aneh jika WhatsApp sampai bisa menyimpan konten porno. Kendati barangkali konten yang dimaksud tersebut bisa bersifat multitafsir. Artinya, di satu negara maknanya mungkin berupa kelucuan, kekonyolan atau komedi. Namun di negara lain, konten tersebut dimaknai sebagai ketidakpantasan. Di Indonesia (mungkin juga beberapa negara lain, khususnya di Asia), konten yang bikin heboh tempo hari masuk dalam perspektif pornografi.
Dengan layanan yang beroperasi di seluruh dunia, serta menyimpan konten begitu banyak pun beragam, sebuah perusahaan sudah seharusnya melakukan konfirmasi. Konfirmasi itu dilakukan baik kepada pemerintah setempat sebagai otoritas, atau kepada partner di negara yang bersangkutan.
Ketika majalah FHM (For Him Magazine) pada awal 2000-an melakukan ekspansi ke beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sang publisher regional melakukan banyak pertemuan. Majalah yang diperuntukkan bagi pembaca kaum pria dewasa kelas A itu bagi sebagian orang bisa saja dianggap tidak senonoh. FHM versi Malaysia dibuat lebih “sopan”, tidak terlalu “terbuka” seperti versi aslinya. Bahkan versi Singapura pun dikemas lebih “tertutup”.
Pentingnya memiliki partner lokal bagi perusahaan global atau regional adalah untuk mengenal adat-istiadat, pola pikir, kedekatan hingga tradisi kelokalan. Bahkan mungkin ada kebijakan pemerintah yang tidak bisa ditawar atau dilanggar. FHM Malaysia umpamanya, ditujukan untuk kaum ekspatriat. Artinya terbit dengan bahasa Inggris.
Dengan memahami ciri kelokalan tersebut, produk global menyelaraskan isinya. Sehingga tidak seluruhnya lantas menerobos masuk dalam versi lokal. Bagi saya, antara FHM dan WhatsApp sama saja. Keduanya sama-sama perusahaan global yang melakukan ekspansi dan beroperasi di berbagai negara. Konten dari pusat belum tentu semuanya sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi di negara lain. Partner lokal harus jeli dan menyaringnya.
Keuntungan melakukan partnership dengan publisher atau mitra lokal, bukan saja bahwa konten itu telah tersaring dan membuat perusahaan macam WhatsApp merasa aman. Namun juga memungkinkan menggali lebih dalam dan menemukan konten-konten lokal dalam konteks memperkaya literasi konten WhatsApp.
Perusahaan-perusahaan messenger lain seperti Line umpamanya, mitra lokalnya sangat aktif bahkan memberi kontribusi pada proses bisnis dalam rangka mengembangkan Line. BlackBerry dulu juga melakukan hal yang sama. Messenger mereka (BBM) yang menawarkan konten emoji sebagai ikon menampilkan atau merepresentasikan pesan ada yang berbau lokal, dan yang tak layak tentulah jadi tugas mitra lokal menseleksi.
Dengan mengantungi jumlah pengguna di Indonesia mencapai lebih dari 35 juta mustinya WhatsApp lebih bisa bersiasat. Meniru langkah Line yang go local juga tak salah. Line walaupun baru memiliki lebih dari 27 juta pengguna, namun sudah memastikan langkah bermitra dengan lokal agar tak sampai terganjal gara-gara konten global yang tak sesuai adat lokal. (*)