oleh: Garuda Sugardo (Mantan BOD Telkomsel, Indosat BUMN, Telkom. Kini Anggota Wantiknas)
Viral pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir tentang “Mendingan enggak ada Telkom” dua minggu yang lalu, kini menyisakan PR besar bagi manajemen Telkom untuk membangun blantika masa depan agar seirama dengan kemajuan zaman.
“Pray for Telkom”. Prestasinya yang tempo hari penuh sanjung dan puja-puji, tanpa ampun susut saat kotak pandora keuangannya terbuka.
Beruntung di dalamnya masih tersimpan semangat dan harapan. Tidak ada jalan lain, Telkom harus fokus dan segera menggarap jasa berbasis teknologi dan informasi digital.
Lebih dari separuh nafas Telkom Group sekarang tergantung pada Telkomsel. Kalkulasi matematikanya sederhana. Telkomsel dengan 5.500 karyawan mengkontribusi pendapatan 70%. Sisanya yang 30% diperoleh dari Telkom bersama 20-an anak perusahaannya dengan 22.000 karyawan.
Betapa “jomplang” ratio produktivitasnya. Bayangkan, bagaimana jadinya Telkom Group tanpa Telkomsel di dalamnya.
Esensi statemen Chief ET, sebenarnya adalah cambuk motivasi, mengajak Telkom untuk segera bangkit dari zona ketergantungannya pada Telkomsel yang selama ini melenakan.
Tersirat pesan bahwa Telkom harus secepatnya bertransformasi dari core bisnis eksistingnya, yaitu infrastructure dan connectivity, beralih ke bisnis data center, big data, cloud computing, AI, IoT, robotics, cyber security dan sebangsanya.
Di situlah ladang bisnis Telkom yang baru dan amat menjanjikan.
Musababnya adalah Telkom dengan kode bursa *TLKM* sejak 1996 adalah perusahaan publik kelas atas. Begitu antitesa terjadi, karuan pasar saham bereaksi. Dengan jumlah saham yang beredar sebanyak 99,06 milyar lembar, setiap penurunan poin dari harga sahamnya, serta merta akan signifikan mengurangi kapitalisasi perusahaan. Pada saat rapat di Komisi VI DPRRI, minggu lalu, bahkan dikomentari bahwa depresiasi dampak dari viral Menteri BUMN mencapai belasan triliun rupiah. Duh!
Menteri Erick tentu tidak ngasal. Sebagai profesional yang berwawasan global dengan reputasi sukses sebagai pebisnis internasional, konteks ucapannya adalah ekspresi kepeduliannya kepada Telkom. Juga bahagian dari tupoksinya sebagai kuasa pemegang saham.
ET pun bukanlah pebisnis kaleng-kaleng. Ia mengerti bahwa TLKM memiliki fundamental yang kuat. Dengan potensi tersebut, sepatutnyalah Telkom tidak terlalu fobia apalagi mensakralkan harga saham. Bila mampu bereaksi positip dan mengatasi sentimen negatip, maka isu akan berubah, nilai sahamnya rebound dan bahkan melesat cepat.
Itulah uniknya bursa efek, tempat di mana perusahaan publik melantai. Di sana tidak ada romantisme dan basa basi, yang ada adalah gejolak saham, kerja keras dan kerja cerdas. Bagi perusahaan yang tidak mahir “berdansa” dan gampang baperan, dia akan terpeleset dan jatuh. Telkom beda, ia selalu sedia dan mampu dengan indah melayani aneka “tarian” di lantai bursa.
Telkom! BUMN petarung ini adalah perusahaan yang lahir dari kancah revolusi bangsa pada saat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, tahun 1945 (!).
Jiwa merah putih dan daya juangnya telah teruji. Sumbangsihnya kepada masyarakat, bangsa dan negara amat nyata. Telkom selalu hadir melayani Indonesia pada setiap kesempatan.
Rahasianya? Para patriot Telkom memiliki kekompakan dan l’esprit de corps yang kuat. Orang-orangnya pintar dan mampu menolak hempasan angin yang kerap menerpa.
Tidak heran, dibandingkan harga saham telco lainnya, saham Telkom adalah juaranya.
Sementara itu blue chip TLKM yang kemarin sempat memudar, kini berangsur kembali bersinar; serenta itu pula bursa mereka-reka apa yang akan terjadi beberapa bulan ke depan.
Di antara kesibukan menuntaskan laporan keuangan 2019, ada semilir angin sejuk bertiup membawa semangat perubahan. Semuanya menatap jauh ke depan bersama gerakan “transformasi digital” untuk membangun sebuah “Indonesia Maju” yang luar biasa.
Semangat, eh maaf, selamat bersiap menyongsong RUPS. Semoga lancar dan sukses.(*)