Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Telkomsel dan Smartfren memenangi lelang spektrum frekuensi 2300 MHz, Telkomsel di Blok A dan C dengan penawaran per blok Rp 176,9 miliar dan Smartfren di Blok B dengan penawaran Rp 176,5 miliar. Dibanding lelang tahun 2017 yang dimenangkan Telkomsel sebesar Rp 1,05 triliun untuk 30 MHz, jumlah Rp 530,7 miliar masih jauh lebih rendah.
Tetapi hasil lelang sebelumnya lebih rendah lagi, hanya sebesar Rp 432 miliar lebih yang lalu dibatalkan Menkomifo, dengan pertimbangan antara lain masalah target PNBP. Memang tidak mungkin berharap lelang akan bisa mendapat Rp 1 triliun, karena blok yang dilelang “tidak bersih”.
Dari 15 zona frekuensi selebar 30 MHz di rentang 2360 MHz – 2390 MHz, lisensi delapan zona masih dikuasai PT Berca Hardaya sebagai pengelola BWA (broadband wireless acces) yang masih berlaku hingga 2029. Berca Hardaya sendiri sudah tidak berdaya untuk mengoperasikan spektrum yang dikuasainya, terutama karena teknologi akses nirkabel pita lebar tadi sudah ketinggalan yang membuat pemegang lisensi lain angkat tangan.
Di delapan zona yang dikuasai Berca tidak berarti Telkomsel dan Smartfren tak bisa beroperasi, yaitu di Sumatera bagian tengah dan selatan, Kalimantan, NTT,NTB, Bali dan Sulawesi Tengah dan Telatan. Lisensi nasional 2300 MHz yang sudah mereka miliki bebas digunakan di blok mana saja, hanya kurang optimal ketika berada di zona-zona yang dikuasai Berca.
Bukan tidak mungkin, ketika kedua operator itu beroperasi dan berbenturan dengan Berca, mereka bisa bekerja sama atau mengakuisisi Berca. Sebetulnya posisi tawar Berca tidak sebesar yang orang bayangkan, karena tanpa akuisisi pun operator-operator tadi tetap bisa melayani pelanggan. Hanya saja bagi operator, Berca menjadi seolah ada slilit – daging yang menelip di gigi.
Lelang terakhir spektrum 2300 MHz yang memenangkan kedua operator itu semula diikuti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Hutchison Tri dan Smartfren. Indosat dan Tri mundur, dikabarkan karena kaitan dengan rencana mereka untuk bergabung, merger, sementara XL yang semula menggebu berniat merebut 2 blok dari tiga yang dilelang, juga mundur.
Kasihan STI
Dalam teknologi seluler generasi kelima (5G), yang jadi target dari semua operator, pemilikan spektrum 2300 bisa termanfaatkan jika operator memiliki sedikitnya selebar 20 MHz. Ini yang menyebabkan peluang Telkomsel dan Smartfren lebih besar, karena masing-masing jadi memiliki 50 MHz dan 40 MHz sehingga kecepatan unduh pelanggan akan meningkat tajam, terutama di kawasan padat.
Makin tinggi frekuensi, makin besar kapasitasnya, sehingga kecepatan unduh pun makin besar pula, dengan peluang dari penggunaan kembali (re use) frekuensi. Hal ini karena cakupan frekuensi tinggi lebih sempit dibanding frekuensi di bawahnya, misalnya 2,1 GHz apalagi 850 MHz dan 900 Mhz yang cakupannya bisa sampai 5 km, sementara spektrum 2300 MHz cakupannya radius 200-an meter.
Dengan pemilikan 50 MHz di rentang 2300 MHz, Telkomsel bisa saja langsung mengembangkan teknologi 5G. Misalnya kendaraan swa kendali (autonomous vechicle), atau pengendalian kawasan industri secara diigital yang sangat minim dalam kebutuhan SDM yang membuat industri jadi lebih efisien.
Di sisi lain, spektrum 2,3 GHz itu tidak terlalu umum untuk digunakan pada layanan 5G, yang lebih memanfaatkan spektrum 26 GHz dan 28 GHz, juga 35 GHz. Itu sebabnya, ekosistem 2,3 GHz kurang mendukung dengan jumlah merek dan model ponsel 5G di spektrum ini, selain aplikasinya masih kurang dibanding di spektrum yang lebih tinggi tadi.
Meski vendor bisa saja kemudian meluaskan ekosistemnya dengan masuk ke 2,3 GHz karena jumlah pesanan operator banyak, seperti Telkomsel yang punya 170 juta lebih pelanggan. Ini sulit terjadi kalau operator yang akan memanfaatkan 2,3 GHz itu hanya mememiliki pelanggan sedikit, karena harga model ponsel dan aplikasi yang dikembangkan otomatis mahal.
Kurangnya dukungan ekosistem yang semacam ini pula yang menghambat pertumbuhan Sampoerna Telecom Indonesia (STI), yang terancam dicabut lisensinya akibat menunggak pembayaran BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi sebesar Rp 428 miliar. Dengan hanya memiliki 2X 7,5 MHz di rentang 450 MHz, STI harus membayar mahal untuk perangkat teknologi yang sudah jarang digunakan, kecuali sedikit di kawasan Rusia dan Nordic (Finlandia dan sekitarnya) itu.
Keuntungan dari penggelaran spektrum 450 MHz hanya dasri jangkauannya, sesuai dengan karaktar frekuensi rendah, yang bisa sampai jarak 100 kilometer di lahan datar. Pelanggan STI sebagian kecil berupa anggota masyarakat pedalaman di Sumatera dan tetapi lebih banyak perusahaan yang punya lahan operasi jauh di daerah terpencil.
Namun dengan program pembangunan USO (universal service obligation) yang dilakukan Bakti Kominfo, daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) tadi sebagian sudah dirambah sinyal seluler. Teknologi GSM pada lebar pita frekuensi di rentang 850 MHz, 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz yang semuanya bisa berjumlah sedikitnya 45 MHz tiap operator, mengalahkan kemampuan teknologi CDMA yang digunakan 450MHz yang hanya punya 7,5 MHz. (hw)
TELKOMSEL