sinyal.co.id
Dibanding induknya, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), yang sudah ada lebih dari 100 tahun, usia 21 tahun belumlah apa-apa. Namun beda dengan anak yang selalu menyusu pada induknya, hampir selama 20 tahun terakhir, justru PT Telkom yang “menyusu” pada Telkomsel.
PT Telkom lewat berbagai nama dari PTT (Pos, Telepon, dan Telegraf), kemudian PN (Perusahaan Negara) Postel, berpisah dengan Pos dan menjadi Perumtel (Perusahaan Umum Telekomunikasi), hingga sekarang merajai layanan telepon kabel. Namun pertumbuhan penetrasi layanannya sangatlah lambat akibat membangun jaringan fisik kabel butuh biaya tinggi dan waktu yang lama, seribu dollar AS per nomor dan butuh 12 bulan.
Beda dengan seluler yang meskipun pernah mencapai nilai investasi BTS (Base Transceiver Station) 250 dollar per pelanggan lalu meluncur hingga 18 dollar, masa penyambungan ke pelanggan boleh dikata dapat dilakukan dalam sekejap. Teknologi nirkabel sel-sel yang membuatnya lebih cepat dibanding telepon kabel.
Saat ini dipercaya sekitar 120 juta kartu perdana dijual oleh seluruh operator seluler dalam setahun yang dijual nyaris gratis. Dari 120 juta itu yang menjadi pelanggan tetap hanya sekitar 17 juta saja, 12 juta di antaranya tercatat di PT Telkomsel yang kini memiliki 153 juta pelanggan. Tahun lalu pendapatan PT Telkomsel sekitar Rp78 triliun, 80 persen dari seluruh pendapatan PT Telkom.
Telkomsel adalah trend setter dengan pangsa pasar sekitar 44 persen, terbesar dalam ARPU (Average Revenue Per User – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) yang Rp40 ribuan, sementara industri sekitar Rp25.000. Karenanya, apa pun yang dilakukan untuk pelanggannya, Telkomsel telah bikin keren Indonesia.
Semua berawal dari Telkomsel. Kartu prabayar pertama di Asia, istilah ponsel, nomor yang tidak dijual bersama dengan ponselnya, proyek Elang Nusa, Ekspedisi Langit Nusantara, semua dari operator warna merah itu.
Hanya Telkomsel yang merambah daerah pinggiran, perbatasan negara, tengah laut dengan memasang BTS di lebih 20 kapal penumpang PT Pelni. Tidak ada operator yang mau membangun BTS di kawasan perbatasan atau terpencil karena biaya modalnya tinggi sementara pendapatannya masih diragukan.
Membangun BTS di ibu kota Puncak Jaya, Papua, perlu menggunakan jasa helikopter untuk mengangkut besi baja untuk menaranya. Atau biaya memikul dan mengangkut peralatan dari baja ke pesisir atau pegunungan yang jauh dari mana-mana.