PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) sedang dalam tahapan mempersiapkan pembangunan sebuah satelit HTS (high throughput satellite –satelit dengan kapasitas tinggi), seusai menerima slot 113 BT (bujur timur) dari Kominfo. Slot itu sebenarnya milik Indosat untuk menggantikan satelit Palapa D yang akan habis usianya pada 2022, namun batal karena satelit pengganti, Nusantara 2, roket pendorongnya gagal fungsi dan meledak saat diluncurkan ke orbit beberapa waktu lalu.
Indosat pun menyatakan tidak akan meluncurkan satelit lagi dan menyerahkan slotnya di 113 BT ke Kominfo yang kemudian memberikan kepada PT Telkom, Januari 2021 lalu. Kabar mengatakan, bagi Indosat bisnis satelit tidak telalu menarik, karena porsinya hanya sekitar 2 persen dari pendapatan perusahaan, padahal saat ini 70 persen dari kebutuhan satelit di Indonesia dipasok satelit asing.
Pemerintah menyerahkan slot kepada Telkom dengan pertimbangan BUMN itu akan sanggup meluncurkan satelit karena kemampuan finansialnya, selain menguasai teknologi dan pengoperasiannya. BUMN itu memiliki beberapa satelit komunikasi yang masih beroperasi penuh dan tersewa seluruh transpondernya.
Saat ini PT Telkomsat, anak perusahaan PT Telkom yang menangani bisnis, memiliki dan menyewakan beberapa satelit, sedang dalam tahap menentukan pemenang tender di antara tiga pabrik satelit. Pembangunan satelit HTS akan memakan waktu sekitar 30 bulan sehingga diharapkan satelit ini akan sudah di orbit pada triwulan keempat 2024.
Dengan demikian, pada tahun itu Indonesia akan memiliki dan mengopersaikan tiga satelit HTS, yang pertama Satelit Nusantara 1 milik konsorsium PT PSN (Pasifik Satelit Nusantara) yang sudah berada di orbit sejak Februari 2019. Satelit kedua, Satria (Satelit Republik Indonesia) 1 kini sedang dalam tahap perakitan di pabriknya, Thales Alenia Space, Perancis dan akan diluncurkan oleh roket Falcon9 milik SpaceX dari Florida, Amerika Serikat, triwulan akhir 2023. Dan satelit ketiga milik Tekomsat tadi.
Satu hal yang unik, Satria akan berdampingan dengan Nusantara 1 di slot 146 derajat bujur timur (BT). Sementara satelit HTS Telkom akan berada di orbit 113 derajat BT, berdampingan dengan satelit milik KoreaSat dari Korea Selatan.
Menurut Dirut PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Adi Rahman Adiwoso, keberadaan beberapa satelit di satu spot orbit tidak menjadi masalah, karena selain berbeda frekuensi juga dengan jarak antar-satelit yang lebar. Hingga kini satu spot orbit sudah ada yang diisi lima satelit berbarengan, dengan akurasi kontrol penempatan satelit 10 sampai 20 meter dan memberi jarak 100 kilometer-an antarsatelit.
Lebih efisien
Dari tiga satelit HTS Indonesia, yang paling perkasa adalah Satelit Satria 1 yang merupakan satelit pemerintah ini yang pengadaannya lewat skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Satelit Satria 1 dikerjakan PT Satelit Nusantara Tiga (SNT), perusahaan yang dibentuk oleh pemenang tender yang terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera.
Meskipun sama-sama HTS, Satria 1 paling unggul karena memiliki kapasitas tertinggi dengan 150 Gbps dari transponder Ka-Band-nya. Adapun kapasitas satelit Nusantara 1 sebesar 15 Gbps dari 8 spot beam Ku-Band, selain 26 transponder C-Band dan 12 transponder Extended C-Band. Satelit HTS Telkom berkapasitas 20 Gbps yang terdiri dari 7 Gbps di transponder C-Band dan Extended C-Band, yang 13 Gbps dari Ku-Band.
Baik Nusantara 1 maupun Satelit HTS Telkom, keduanya menggunakan teknologi gabungan sebagai satelit konvensional dan satelit HTS, sementara Satria hanya sebagai satelit HTS, dan yang sekaligus akan merupakan terbesar di Asia nantinya.
Lewat transponder C-Band dan Extended C-band Nusantara 1 dan Telkom HTS akan memiliki cakupan luas, sementara Ku-Band mereka akan berupa spot beam (titik sorotan) seperti halnya BTS (base transceiver station) operator seluler dengan cakupan terbatas. Jangkauan kedua satelit itu luas dengan mutu handal karena berada di frekuensi rendah yang melayani selain seluruh wilayah Tanah Air juga sebagian Australia Utara, Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Satelit konvensional mencakup seluruh wilayah cakupannya (foot print) termasuk di rimba raya dan tengah samudera, sementara transponder HTS Ku-Band, atau Ka-Band yang digunakan Satria fokus di titik-titik yang dituju.
Satelit Satria fokus untuk kawasan Nusantara yang dengan teknologi spot beam penggunaan frekuensi tingginya bisa lebih efisien. Satu spektrum frekuensi yang digunakan di satu spot beam bisa digunakan kembali (re use) di spot beam yang lainnya, sehingga Satria 1 mampu menjangkau 150.000 titik spot beam dengan kapasitas 150 Gbps, tanpa mencakup kawasan yang tidak perlu.
Satria 1 akan digunakan oleh banyak kepentingan, antara lain sekolah, fasilitas kesehatan – puskesmas, kantor pemerintahan dan sebagainya. Diutamakan yang berada di kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan tertinggal) yang selama ini belum merasakan layanan telekomunikasi seperti kawasan lain di Tanah Air. ***