sinyal.co.id
Hingga saat ini, tarif interkoneksi menggunakan versi lama Rp250/menit sementara panggilan pelanggan ke operator lain (off net) sesuka-suka operator yang besarannya antara Rp900/menit sampai Rp1.500/menit. Besaran tarif panggilan keluar yang ditambahkan ke biaya interkoneksi ini acapkali dibuat tinggi untuk memberi kesan panggilan ke operator lain sangat mahal.
Pemerintah, Kementerian Kominfo, yang berharap tarif off net tidak terlalu tinggi, hanya sekitaran Rp300/menit atau paling tinggi Rp450/menit menjadi kebijakan yang tidak disukai. Apalagi ini jelas akan menurunkan potensi pendapatan PT Telkomsel.
Saat ini Telkomsel merupakan andalan PT Telkom, BUMN yang merupakan induk Telkomsel, yang setoran ke pemerintah dalam bentuk dividen dan berbagai pajak termasuk terbesar di antara BUMN lain. Namun dari segi dividen, pembagian keuntungan ke Pemerintah RI lebih rendah dibanding ke SingTel yang hanya memiliki 35 persem saham PT Telkomsel.
Penundaan pelaksanaan tarif interkoneksi memberi kesempatan kepada Telkomsel untuk menjelaskan investasi baru apa saja yang dilakukannya pada tahun 2014-2015 sehingga menaikkan biaya jaringan melampaui penyusutan nilai dari investasi sebelumnya. Dalam laporan tahunan Telkomsel tahun 2015 tertulis ARPM (Average Revenur per Minute – pendapatan rata-rata tiap menit) hanya Rp162/menit, jauh lebih rendah dibanding DPI yang diajukan untuk menghitung tarif interkoneksi.
Laporan tahunan tadi menyebut pendapatan Telkomsel Rp76,055 triliun dengan laba bersih Rp22,36 triliun atau naik 15,34 persen dari tahun 2014 yang Rp66,25 triliun dan Rp19,39 triliun. Ada pengamat atau operator yang iri, menilai ada yang salah dari operasional Telkomsel dan menyebutkan Telkomsel telah mengambil untung berlebihan, 29 persen lebih.
Hendro