sinyal.co.id
Dalam uji publik soal revisi PP No 52/2000 tentang Telekomunikasi dan PP 53/2000 tentang Frekuensi dan Orbit Satelit, November lalu, Kelompok PT Telkom (Telkomsel) tetap menolak kewajiban berbagi prasarana aktif atau pola MOCN (Multi Operator Core Network). Alasannya seperti sering dikemukakan, berbagi prasarana aktif akan merugikan kelompok BUMN tadi yang sudah merintis pembangunan hingga seluruh pelosok Indonesia.
Sejak awal mereka dengan susah payah membangun sampai kawasan terluar, tertinggal dan pinggiran yang tidak potensial secara ekonomi, lalu tiba-tiba harus berbagi frekuensi dengan operator lain hanya karena operator lain tadi tidak membangun di luar Jawa. Berbagi aktif MOCN berbahaya karena dikatakan akan menurunkan kontribusi kelompok Telkom ke Negara yang selama ini besar.
Hingga saat ini, ketika Telkomsel sudah memiliki sekitar 125 ribu BTS di seluruh Indonesia, PT XL Axiata baru membangun sekitar 79 ribu BTS dan Indosat hanya 54 ribu BTS, umumnya di kota-kota besar Jawa dan Sumatera. Menurut Menneg BUMN Rini Soemarno, kebijakan berbagi haruslah dengan menghitung lebih dahulu investasi dan resiko yang sudah ditanggung PT Telkom sebelum menghitung besaran sewa.
Investasi itu bukan hanya yang di dalam negeri tetapi juga di luar negeri, jaringan tulang punggung (back bone), kabel laut, yang tidak murah dan beresiko tinggi. Kata Rini, perusahaan telekomunikasi harus membangun back bone mereka masing-masing, tidak begitu saja datang menyewa ketika Telkom sudah memiliki back bone.
Polemik ini terus berkelanjutan karena kelompok BUMN itu membangun opini didukung berbagai narasumber dari para ahli, universitas, anggota DPR, dan menteri, sehingga pembahasan revisi kedua PP yang semula dikatakan tinggal diteken, dibahas lagi sembari membuka uji publik. Belum diketahui apakah uji publik ini menjadi final dan revisi kedua PP diteken Presiden lalu diberlakukan dengan didukung peraturan Menkominfo sebagai petunjuk pelaksanaan.
Sebagai bayangan bagaimana sulitnya membuka daerah terpencil dan terluar serta terpinggirkan, ada 114 kabupaten atau kota dari 514 yang ada, yang belum mendapat akses prasarana jaringan pita lebar. Dari jumlah 114 itu semua operator hanya sanggup membangun 57 kota atau kabupaten, karena sisanya bukan daerah yang menguntungkan, belum lagi ribuan desa yang belum terjangkau.
Menyimak polemik, mungkin perlu mendengar apa yang dikatakan Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Selular (ATSI), Merza Fachys, kalau ada operator mau jalan sendiri tidak apa-apa tetapi kalau ada yang bergabung jangan dihalang-halangi. Spirit kedua PP tadi adalah kebersamaan, namun yang ada di benak banyak orang, sharing adalah “nebeng”.
Merza yang juga Dirut PT Smartfren itu memang berharap jika saja para operator mau membangun bersama-sama. Hanya saja ketika PP belum diteken berarti belum ada aturan yang mendukung.
Namun jelas bahwa pemikiran Merza sejalan dengan anggota ATSI lain kecuali Telkomsel, sekaligus berharap bahwa kedua PP segera terbit untuk menjadi payung hukum yang jelas. Selain itu mindset bahwa penyewa adalah nebeng perlu diubah, karena namanya penyewa pasti membayar dengan dasar kesepakatan dengan pemilik jaringan.
Industri telko mendapat pengalaman pahit ketika pemainnya dipidana akibat memanfaatkan jaringan operator dengan tuduhan tidak membayar biaya hak penggunaan frekuensi sehingga merugikan pemerintah. Dalam kaitan itu revisi kedua PP juga dimaksudkan antara lain agar tidak ada lagi multi tafsir yang memudahkan pemidanaan seseorang atau korporasi, sebab jika tafsir tadi diterapkan terus, penyelenggara layanan internet (ISP) juga akan terkena pidana.
Operator berharap, penerapan kedua PP setelah direvisi akan terjadi efisiensi di sisi modal, karena selama ini setap operator membeli barang yang sama masing-masing, padahal teknologi memungkinkan barang itu dapat digunakan bersama. Salah satu cara menyelesaikan masalah yang muncul, beberapa operator yang berkepentingan, yaitu Indosat, XL Axiata dan Hutchison Tri Indonesia (Tri) sebaiknya membangun bersama tanpa mengandalkan Telkomsel.
Di sisi menara, yang saat ini cara penggunaan bersama sudah disepakati semua operator seperti pola MORAN (multi operator radio access network), mereka bisa saja menyewanya dari penyedia menara (tower provider). Caranya, mereka menunjuk lokasi yang diinginkan untuk dibangunkan menara BTS, kemudian penyedia menara membangunkannya dan para operator tadi bergotong royong menyewa, sehingga menghemat capex (capital expenditure – biaya modal).
Penghematan capex berikut dengan membeli BTS bersama, karena saat ini BTS dengan berbagai spektrum frekuensi sudah bisa dikemas dalam satu kotak, sementara pada masanya setiap spektrum butuh satu kotak. Kebutuhan listrik juga menjadi lebih murah selain BTS tidak perlu lagi ada dalam satu ruangan (shelter) yang perlu alat pendingin (AC).
Tetapi Smartfren belum bisa berhemat seperti yang lain kecuali menara, karena dari semua operator GSM, baru Smartfren yang mengoperasikan rentang frekuensi 2300 MHz. Dari lebar pita 90 MHz di spektrum 2300 MHz itu, selain 30 MHz milik Smartfren, 30 MHz lainnya digunakan oleh operator BWA (broadband wireless access) seperti First Media dan Berca. Sisanya yang 30 MHz akan segera diperebutkan semua operator GSM lewat lelang yang seharusnya dilaksanakan tahun ini.
Cara ini sama sekali tidak menyinggung kepentingan Telkomsel, walau di lapangan nanti bisa berbunyi lain. Pengalaman XL Axiata beberapa tahun lalu ketika membangun jaringan baru di Maluku, tujuh menara sudah dibangun, BTS sudah dipasang dan mulai dioperasikan bersamaan dengan pemasaran kartu-kartu perdana.
Tanpa diketahui datang dari mana dan apa kepentingannya, serombongan orang melakukan intimidasi, merusak outlet dan membuang kartu-kartu perdana ke laut dan ini berulang terjadi. Akhirnya XL mencabuti semua prasarana dan hengkang dari kawasan itu.
Hendro