Tahun Depan Operator Seluler Tinggal Empat

 

Bukan pengumpul denda

Dekade ini, periode pemerintahan lalu, keanehan berlanjut. Bank Rakyat Indonesia yang bukan operator mendapat izin mengelola layanan satelit, dengan mendapat slot satelit yang semula diduduki PT Indosat. Di dunia, BRI menjadi satu-satunya bank yang memberi jasa layanan sewa satelit.

Dari semua operator yang tidak pernah pindah tangan kecuali berpatungan dengan operator mancanegara hanyalah Telkomsel – dan juga Bakrie Telecom sampai pingsannya saat ini. Indosat (eks-Satelindo) pindah tangan setidaknya tiga kali sebelum jadi milik Kelompok Ooredoo (yang artinya “aku ingin” – bahasa Arab).

XL Axiata, dari semula milik konsorsium operator Amerika, kemudian milik Kelompok Rajawali lalu jadi milik Kelompok Axiata (Malaysia). Smartfren, punya catatan liku-liku ketika diberi frekuensi yang sudah dikuras dua kali sebelumnya, 1900 MHz, dan kini didudukkan di 2300 MHz selain 850 MHz bawaan Fren, dengan sejarah berpindah-pindah tangan. Sampoerna, sudah pindah tangan lebih dari dua kali sejak masih berkutat di teknologi NMT (Nordic Mobile Telephone) akhir dekade ’80-an ketika seluler masih di generasi pertama, 1G.

Industri, apa pun itu, tidak akan efisien jika dikeroyok ramai-ramai padahal bisa dikerjakan dengan baik oleh dua atau tiga entitas bisnis. Contoh di luar telekomunikasi, perbankan nasional yang kini digeluti oleh lebih 20 bank tetapi hanya mampu memiliki 60 jutaan pelanggan.

Efisiensi di industri telko memang harus dilakukan, tidak hanya dengan kebijakan pemanfaatan prasarana bersama baik berupa menara atau jaringan, namun jumlah pemain juga harus diciutkan. Memang jangan dengan cara paksaan, cukup dengan aturan yang jelas dan keras penerapannya, sehingga ke depan hanya ada tiga atau empat operator seluler saja.

Cara pemberian lisensi moderen yang mewajibkan operator membangun di seluruh kawasan Tanah Air haruslah diubah formulanya. Saat ini jika operator enggan membangun di kawasan terpencil hanya dikenai denda, ke depannya harus dicabut lisensinya setelah diberi peringatan.

Sejatinya pemerintah bukan pengumpul denda karena lebih manfaat jika operator membangun lalu membayar berbagai BHP (biaya hak pengguanaan) frekuensi, jaringan atau USO (universal service obligation). Tetapi pemerintah juga tidak usah campur tangan ketika operator kecil ingin gabung ke operator besar untuk menghindari pencabutan lisensi.

Dengan mengakuisisi, operator akan mendapat tambahan frekuensi dan pelanggan. Meskipun – mencontoh kasus Axis diakuisisi XL Axiata – tambahan pelanggan hanya impian di siang bolong karena yang dibawa kebanyakan adalah pelanggan “bodong”, yang kartu SIM-nya mati sejak lama.

Moch. Hendrowijono

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled