Kerja sama penggunaan satelit HBS (hot backup satellite – satelit cadangan) dibatalkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lewat Satgas Bakti Kominfo. Peluncuran HBS seharusnya dilakukan pada Oktober ini.
HBS merupakan satelit HTS (high throughput satellite – satelit berteknologi terbaru dengan kemampuan besar) yang sebenarnya akan menjadi cadangan satelit Satria-1. Peluncuran Satria-1 sudah dilakukan Juni lalu dan kini sedang menuju orbitnya di posisi 146º bujur timur di ketinggian 36.000 km di atas Papua.
Teknologi HTS kedua satelit canggih, multifungsi, jejaknya (footprint-nya) bukan cakupan luasnya melainkan titik-titik (spot) tertentu. Kapasitas satelit HTS mencapai 2 kali sampai 100 kali kapasitas satelit konvensional (FSS – fixed satellite service) dengan biaya per bit jauh lebih murah.
Semula, HBS ditujukan sebagai mitigasi atas risiko bila Satria-1 gagal diluncurkan, sekaligus menjadi penyedia kapasitas cadangan saat Satria berfungsi normal. “Pemanfaatan secara optimal untuk kapasitas segmen space maupun ground segment Satria-1 akan menyita banyak energi, jangan sampai kita tidak fokus,” kata Ketua Satgas Bakti Kominfo, Sarwoto Atmosutarno memberi alasan pembatalan.
Berkemampuan kapasitas sama dengan Satria-1 yang 150 giga bit per detik (Gbps), HBS dibuat oleh Boeing dengan biaya total Rp 5,2 triliun. Pengoperasian HBS dilakukan secara sewa kapasitasnya dari pemiliknya, KNJ (Konsorsium Nusantara Jaya) dan yang sudah dibayarkan Rp 3,5 triliun akan dikembalikan ke Bakti termasuk juga biaya uang (cost of money)-nya.
Latensi rendah
Pembatalan ini merupakan penghematan besar bagi Bakti Kominfo yang sedang berupaya menyelesaikan sebagian tugas membangun BTS (base transceiver station) di kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) Indonesia. Seperti diketahui, pembangunan BTS di daerah 3T itu diduga dikorupsi banyak oknum yang kini perkaranya sedang disidangkan pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta.
Satelit Satria-1 diluncurkan dari Cape Kennedy, Florida, AS, pada 18 Juni 2023 dibangun Thales Alenia Space yang diharapkan dapat melayani 150.000 titik di kawasan 3T. Namun karena kebutuhan akan layanan telekomunikasi yang lebih besar, diputuskan untuk memperkecil jumlah titiknya menjadi 50.000 sehingga kapasitas yang didapat bisa sampai 4GB per titik.
Pembangunan dan peluncuran Satria-1 dibiayai PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) sebesar 540 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,7 triliun, yang akan dicicil Kominfo selama 15 tahun. Sementara dana untuk sewa HBS diambil Bakti dari dana USO (universal service obligation) yang didapat dari pengumpulan 1,25% pendapatan kotor operator seluler.
Selain alasan efisiensi penggunaan dana, diperkirakan pembatalan kerja sama juga jadi antisipasi datangnya layanan satelit LEO (low orbit satellite) Starlink milik Elon Musk yang sudah dapat izin labuh (landing right), bekerja sama dengan Telkomsat. Walau biaya operasional lebih mahal, mutu layanan Starlink diyakini lebih baik dibanding Satria-1 dan BHS, antara lain karena latensinya (jeda) sangat rendah, dengan kapasitas sampai 500 GB.
Latensi satelit GEO sekitar 500 milidetik, latensi LEO yang orbitnya di ketinggian 500 km hingga 2.000 km di atas bumi hanya 25 milidetik. Layanan LEO lebih mahal karena usia satelitnya hanya 5 tahun dan untuk mencakup seluruh muka bumi Elon Musk akan meluncurkan sekitar 1.600 satelit.
Mahal
Starlink akan ditawarkan untuk melayani kawasan 3T, walau pola kerja samanya masih belum dirumuskan dengan kendala antara lain soal sewa layanannya. Untuk mengakses layanan Starlink, calon pelanggan harus membayar biaya awal 0,9 dollar AS, sekitar Rp 1,4 juta, dengan biaya bulanan Rp 2 juta hingga Rp 3 juta.
Baik satelit GEO maupun LEO, keduanya sering bergeser akibat pengaruh cuaca atau daya tarik bumi, yang harus didorong kembali dengan menyalakan roket yang dibawanya. Bahan bakar roket ini menentukan usia satelit yang makin cepat habis jika posisi satelit sering dikoreksi sampai tak terjangkau kendali stasiun bumi.
Karena posisinya yang lebih rendah sehingga gaya tarik bumi lebih kuat, satelit LEO harus bergerak terus memutari bumi dengan kecepatan 30.000 km per jam dan kembali ke titik semula setiap 90 menit.
Tidak seperti bayangan orang, satelit LEO, Starlink atau ATS, OneWeb, GlobarStar, Lynx dan lainnya, juga Satria-1 yang GEO tidak bisa langsung berkomunikasi dengan ponsel 5G milik pelanggan di bumi. Kalaupun langsung dari satelit ke ponsel, menurut pakar satelit Indonesia Kanaka Hidayat, satelit harus dibuat dengan antena yang sangat besar agar peka terhadap pancaran sinyal ponsel yang kecil.
Komunikasi pun harus melewati backhaul, pengalur jaringan, teknologi yang menghubungkan jaringan tulang punggung ke jaringan akses. Selain itu, Stralink beroperasi pada spektrum milimeterband di rentang 12 GHz hingga 32 GHz, spektrum yang umum digunakan layanan 5G.
Kabar di media sosial menyebutkan, ponsel 5G Huawei Mate 60 Pro atau iPhone 15 dikatakan bisa berkomunikasi suara dan data langsung dengan satelit. ***