SinyalMagz.com – Lapangan Karang, Kota Gede, Yogyakarta, mendadak dipenuhi nisan-nisan yang berjajar. Di setiap nisan yang berjumlah sekitar 500 ini tertulis nama-nama outlet tradisional atau konter pulsa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Tak hanya itu saja, terdapat pula gerbang masuk dengan tulisan di atasnya. Tulisan tersebut berbunyi “Kuburan Massal Konter Pulsa”.
Kuburan ini dibuat dengan bahan styrofoam sebagai simbol yang ditampilkan oleh Kesatuan Niaga Celluler Indonesia (KNCI) DPD DIY.
Kuburan itu melambangkan matinya outlet tradisional menyusul belum diberikannya wewenang untuk meregistrasikan lebih dari tiga kartu pra-bayar.
“Kami membuat makam, ada 500 nisan dengan nama-nama outlet seluler. Ini simbolisasi matinya usaha outlet kartu dan pulsa.”, ungkap Humas Kesatuan Niaga Celluler Indonesia (KNCI) DPD DIY-Jawa Tengah, Ardhan Aryana, Rabu (28/3/2018).
Ardhan menjelaskan, KNCI menggelar aksi demo karena kesepakatan saat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI dan Dirjen Kominfo pada 7 November 2017 lalu tidak kunjung direalisasikan.
Pada pertemuan itu, disepakati tentang diberikannya wewenang outlet tradisional untuk meregistrasi lebih dari tiga kartu pra-bayar dengan NIK konsumen.
“Hasil kesepakatan saat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, ada Dirjen Kominfo, ada ATSI, seakan tidak dijalankan. Sampai saat ini terjadi pemblokiran nomor-nomor konsumen. Ketika akan meregistrasi yang diblokir itu juga tidak bisa, karena dianggap melebihi batas aktivasi kartu.”, ujarnya.
KNCI, lanjut Ardhan, setuju dan turut menyukseskan program Kominfo terkait registrasi kartu pra-bayar dengan data NIK dan KK.
Dalam peraturannya, memang satu NIK dibatasi untuk registrasi tiga kartu. Hanya saja, outlet tradisional sebagai pelaku usaha seharusnya juga diberikan kewenangan yang sama dengan gerai seluler dan diler, yaitu bisa meregistrasi lebih dari tiga kartu pra-bayar.
“Yang kami tuntut di sini adalah kewenangan untuk bisa meregistrasikan lebih dari tiga kartu. Ya tentu dengan data valid NIK dan KK konsumen.”, tandasnya.
Ardhan menjelaskan, dengan tidak diberikannya wewenang meregistrasi lebih dari tiga kartu pra-bayar, maka outlet tradisional di Indonesia terancam gulung tikar.
Sebab, selama ini pendapatan terbesar outlet tradisional dari penjualan kartu perdana, khususnya data internet.
“Pendapatan terbesar outlet ya dari penjualan kartu perdana internet. Kemarin dihitung dengan pembatasan ini pendapatan hilang 70%. Artinya, akan banyak yang gulung tikar karena tidak menutup biaya operasional.”, ungkapnya.