BERLAKUNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2019 sejak 10 Oktober 2019 mengubah gaya penanganan OTT (over the top) yang semula tidak bisa terjangkau dan pemerintah harus bersikap manis, kini tidak lagi. Bahkan pemberlakuan PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) itu memaksa PSE (penyelenggara sistem elektronik) terkena kewajiban moderasi konten yang dampaknya harus merekrut banyak tenaga kerja.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika (Aptika) Semuel Abrijani Pangerapan, PP 71 /2019 mewajibkan PSE layanan privat untuk mendaftarkan diri walau pusat datanya boleh di luar Indonesia. “Misalnya Shopee dari Singapura dan melakukan layanan di Indonesia, dia harus mendaftar, karena kalau tidak, layanannya diblok, tidak bisa diakses di Indonesia,” katanya.
Selama ini PP 82 tahun 2012 yang sudah tidak berlaku mengatur, PSE dibagi dua, PSE pelayanan publik dan PSE pelayanan privat, yang publik harus terdaftar dan menempatkan pusat datanya di Indonesia dan PSE pelayanan lingkup privat tidak wajib daftar. Aturan PP 71/2019 beda, PSE lingkup privat dapat mengelola, memroses dan penyimpanan sistem elektronik bisa di dalam wilayah atau di luar Indonesia tetapi harus terdaftar di Indonesia.
Konsekuensi dari memenuhi kewajiban mendaftarkan diri, mereka harus segera dalam tenggat waktu tertentu memblokir, menghapus konten-konten negatif, misalnya pornografi, ujaran kebencian, berita bohong (hoax), radikalisme, promosi terorisme. “Ada review, dikasi peringatan (notice), setelah waktu tertentu misalnya empat jam tidak dihapus, PSE langsung diberi sanksi. Kalau konten negatif soal agama, tidak ada review, langsung ditindak,” kata Semuel.
PP 71/2019 ini bisa menindak PSE berupa sanksi administratif, bisa denda atau diblokir, bisa pemutusan akses sementara atau dikeluarkan dari daftar. “Dikeluarkan dari daftar artinya sanksi permanen, tidak bisa lagi diakses di Indonesia,” ujar Semuel.
Denda Rp 100 juta
Ancaman sanksi seperti ini tidak ada dalam PP Nomor 82 tahun 2019 tentang hal sama, sehingga kalau pemerintah melihat ada konten negatif di satu platform, paling yang dilakukan hanya mengimbau agar konten tadi dihapus. Dengan ancaman denda yang bisa Rp 100 juta per konten, PSE harus selalu melakukan patroli dan langsung menghapus konten-konten tadi untuk menghindari sanksi.
Dengan ancaman sanksi, diharapkan konten-konten negatif tidak akan lagi memiliki ruang di internet, dari PSE seperti Facebook, Twitter hingga Instagram dan WhatsApp ikut memerangi konten negatif di platformnya. Adapun besaran Rp 100 juta, dikatakan, mengacu kepada UU PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Ancaman denda memang belum berlaku karena masih akan diatur dengan Peraturan Menteri (PM) Kominfo yang sekarang sedang disusun. PSE masih diberi kesempatan untuk memenuhi kewajiban pendaftaran hingga 10 Oktober 2020. Sekaligus memberi mereka kesempatan menyiapkan tim dan teknologi dalam menangkal konten-konten negatif di platform masing-masing.
Kebijakan baru Kementerian Kominfo ini secara tidak langsung akan membuka kesempatan kerja bagi para calon cyber patrol karena PSE tidak ingin kena denda. Mereka akan berupaya secepat mungkin bisa mendeteksi adanya konten negatif di platformnya sebelum pemerintah mengendusnya.
Berapa banyak dibutuhkan cyber army, sangat relatif. Namun Semuel mencontohkan TikTok yang kecil saja punya 200 ekspert yang merupakan anggota armada cyber patrol. ***