KEBIJAKAN pemerintah yang akan memulai validasi IMEI (international mobile equipment identification) pada Agustus 2019 membuat tidak bisa digunakannya ponsel-ponsel yang diimpor secara gelap (BM – black market). Validasi akan dilakukan oleh Kementerian Perindustrian terhadap setiap produk ponsel yang nomor IMEI-nya dikeluarkan oleh lembaga GSM-A (Global System for Mobile Association).
Validasi dilakukan lewat mesin namanya DIRBS (device identification, registration and blocking system), dan lewat aplikasi yang dipasang setiap operator, ponsel yang diaktifkan akan dipindai nomor IMEI-nya. Jika tidak ada terdaftar dalam DIRBS Perindustrian, aktivasi nomor ponsel itu ditolak.
Di pasar beredar juga ponsel-ponsel dengan IMEI kembar yang dilakukan oleh produsen ponsel di luar negeri. Dalam kasus demikian, ponsel kembar pertama yang didaftarkan IMEI-nya di DIRBS yang akan diakui.
Selama ini isu dinafikannya IMEI untuk pengawasan ponsel memang terjadi akibat adanya keengganan operator melakukan validasi. Operator harus mengeluarkan modal tambahan untuk peralatan validasi dan mempekerjakan SDM tambahan.
Kerja sama tiga kementerian – Kominfo, Perdagangan dan Perindustrian – dilakukan setelah beredarnya dalam jumlah besar ponsel-ponsel BM yang menggerogoti potensi pemasukan pajak ke negara. Data dari APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia), asosiasi para distributor ponsel, menyebutkan, di tahun 2018 ada 20 persen dari 45 juta ponsel pintar baru yang dipasarkan di Indonesia merupakan ponsel BM, atau sejumlah 9 juta ponsel.
Jika rata-rata harga ponsel pintar ini Rp 2,5 juta, nilai ponsel BM mencapai Rp 22,5 triliun. Ponsel BM karena selundupan tidak membayar pajak sehingga potensi kerugian negara dari pajak PPN 10 persen dan PPh 2,5 persen atau 12,5 persen dari Rp 22,5 triliun mencapai Rp 2,8 triliun setahun.
Namun dikatakan, data 20 persen ponsel pintar BM itu data konservatif, karena kemungkinan ponsel BM mencapai 30 persen dari seluruh ponsel pintar baru yang beredar. Sebagai contoh, pada triwulan pertama 2019 saja Xiaomi yang sekarang menjadi pemimpin pasar setelah Samsung, barang ilegalnya sudah mencapai 50 persen kalau dilihat dari aktivasinya.
Tidak bergaransi
Tahun 2019 akan merupakan tahun banjir ponsel BM, karena beberapa negara, terutama India dan beberapa negara ASEAN sudah berhasil menyetop ponsel BM lewat DIRBS. Ponsel-ponsel BM yang mayoritas dari China, utamanya Xiaomi, juga iPhone itu kemudian diarahkan ke Indonesia yang pasarnya masih sangat terbuka.
Dari sisi pemerintah, validasi IMEI semua ponsel yang beredar bisa jadi akan memblok lebih dari lima puluh juta ponsel yang sudah digunakan, dan menutup peluang aktivasi ponsel BM yang baru masuk. Pemerintah tampaknya akan memberi tenggang berupa pemutihan bagi ponsel BM yang sudah diaktifkan, namun masih dipertanyakan apakah pemiliknya harus membayar pajak yang “terutang” sebelum ponsel bisa digunakan seterusnya.
Dari sisi masyarakat, validasi IMEI akan menurunkan jumlah pencurian ponsel yang selama ini masih berlanjut. Karena begitu ada laporan ponsel dicuri, operator akan bisa memblokir nomor IMEi-nya dan ponsel curian tidak akan bisa diaktifkan.
Namun demikian masih saja dibuka peluang bagi masyarakat membeli ponsel di luar negeri, entah berupa ponsel khusus untuk pemantauan keamanan atau ponsel pintar biasa, hanya saja tetap harus membayar PPN dan PPh. Akhirnya, harganya bisa jadi lebih mahal dibanding jika membeli ponsel resmi di pasar.
Sejak tiga tahun terakhir penyelundupan ponsel memang marak, umumnya lewat Batam yang justru menjadi pusat produksi ponsel Xiaomi untuk pasar Indonesia. Dewasa ini ponsel BM masih dicari pembeli karena barang yang sama dengan ponsel resmi berbeda harga antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000.
Tetapi ponsel BM yang IMEI-nya tidak tercatat di basis data importir atau distributor tidak mendapat kartu garansi. Penjual-penjual ponsel BM selama ini umumnya menjanjikan garansi distributor, artinya jika ada kerusakan akan diperbaiki oleh distributor lewat toko atau gerai yang menjualnya. ***