sinyal.co.id
Tidak sedikit yang terjerat kasus akibat melanggar UU ITE ini. Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat, dari 2008-2015 90{6d4da31955223774f92dce3d293cb7e669764550633ee25cdb7e9d5f0678e9b3} dari 118 pengguna internet bermasalah dengan pencemaran nama baik.
Salah satu yang paling baru dan paling panas adalah masalah Buni Yani kemarin. Ia merupakan pengguna media sosial yang terkena jerat UU ITE. Kasusnya menjadi atensi publik yang luas karena penyebaran informasinya berujung dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, kasus pun bergulir kembali ke arah Buni Yani dan dianggap melanggar Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 UU ITE. Tuduhannya, Buni Yani diduga dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi menyesatkan.
Belajar dari kasus ini, beberapa lembaga menafsirkan bila revisi UU ITE ini akan makin menjerat kebebasan berekspresi dan mengekang sikap kritis masyarakat.
“Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE hanya melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru pemerintah,” ujar Nawawi Bahrudin, Direktur Eksekutif LBH Pers dalam keterangan persnya.
Sementara, Menkominfo, Rudiantara sendiri menyebut bila revisi UU ITE ini adalah bentuk dari perlindungan hukum dan perlakuan yang adil bagi para pengguna internet.
Dampak revisi ini memang cukup mengancam kebebasan penyebaran informasi di internet. Pasalnya, tak cuma pembuat konten saja yang bisa kena ciduk, namun juga yang menyebarkannya.
Wakapolri, Komjen Syafruddin menyebutkan revisi ini punya hikmah tersendiri. Meski terjadi pengurangan ancaman, namun sasaran pelakunya diperluas. Ini seperti membuat koridor etika dalam berekspresi di dunia maya.
“Masyarakat harus lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi, harus dicek dulu kebenarannya,” imbau Syafruddin.
Lalu