Sinyal Rate: 7 dari 10
Genre: Dokumenter
Sutradara: Luke Sewell
WWW.SINYALMAGZ.COM – Hampa hidup Tong Zho, pemuda berdarah Tionghoa lahir di Kanada. Uangnya sebanyak 85 ribu dolar lenyap seketika, tanpa bekas. Tergiur berinvestasi di layanan crypto currency yang digelar oleh start up fintech Quadriga, ia sampai melakukan tiga kali pinjaman.
Janji bunga berkali lipat tinggal janji. Tong, begitu ia akrab disapa, menuturkan di layar dengan muka kecut. Kadang ingin menangis, tetapi tampak sekali ia tahan. Sesekali tersendat ungkapannya, seperti menelan kesedihan sendiri.
Begitulah kesuraman film bertajuk Trust No One; The Hunt for the Crypto King. Sang sutradara, Luke Sewell, menuturkan dengan ambience yang gelap. Bahkan salah satu korban yang ia jadikan sebagai “aktor” memilih menggunakan topeng serigala, ketimbang menampakkan wajah.
Kesedihan, kemarahan, penasaran, semua perasaan itu membaur dan disodorkan Sewell sebagai latar dari bagaimana para korban penipuan investasi bodong di Kanada terjadi.
Dunia digital dengan financial technology yang tengah booming menelan ribuan korban. Dalam kasus Quadriga, tampak sekali bagaimana sebuah start up dibangun oleh orang-orang yang secara fisik kelihatan biasa-biasa saja, namun punya akal luar biasa. Quadriga dimiliki oleh Gerald William Cotten alias Garry Cotten, yang dikenal sebagai raja crypto Kanada.
Wajah lugunya yang mengingatkan pada sejumlah pendiri start up papan atas yang seolah berkepribadian nerd. Tetapi ketika berceloteh tentang perusahaan pemulanya, ia bisa meyakinkan seperti seorang Steve Jobs. Dan, modal itu lah yang membuat ia dipercaya oleh begitu banyak orang.
Mereka kemudian menginvestasikan. Sayangnya, Cotten bukan Jobs atau Zuckerberg. Cotten tak lebih dari seorang pembohong alias penipu ulung.
Melalui bitcoin ia menawarkan investasi. Lalu, investasi yang masuk itu ia kelola. Dalam bentuk cryptocurrency (memakai mata uang bitcoin), ia meraih sedikitnya 150 ribu investor dan meereka mengangsurkan lebih dari 250 juta dolar kanada (sekitar 190 juta USD) ke rekening Cotten.
Setelah itu, janji bunga tak juga terbayar. Kian lama kian muncul kecurigaan. Dan, benar, Quadriga hanyalah sebuah fintech abal-abal.
Pendek kata, bertemulah satu persatu korban. Mereka bersatu melakukan inisiatif investigasi. Kebetulan sepak terjangnya juga didukung oleh media dengan dua jurnalis ambil bagian mencari berbagai fakta.
Sementara rekam jejak Gerry Cotten hanya bisa dicek melalui media sosial miliknya. Termasuk kehidupan indahnya pernikahan dengan Jennifer Robertson. Saudari Jennifer juga rela menjadi pencerita di film berdurasi 1 jam 30 menit ini.
Gaya penuturan cerita film mengingatkan pada Downfall: The Case Against Boeing. Melantunkan plot dari satu temuan ke temuan berikutnya, seperti menjalin puzzle. Bahkan dengan menyisipkan sejumlah misteri.
Bahkan soal kematian Cotten pun (yang mendapat surat kematian dari pemerintah India) juga diragukan sampai hari ini oleh beberapa korban.
Bedanya, dalam kasus Boeing, pemerintah Amerika ambil bagian walaupun terlambat akibat mendapat tekanan. Sementara, pada kasus investasi bodong Cotten, semua penyelidikan dilakukan sepenuhnya oleh para korban, dibantu media juga “orang dalam” yang mengaku pernah bekerjasama dengan Gerry.
Sayang, istri Cotten memilih diam dan mengungsi di rumah yang tak diketahui keberadaannya demi keamanan diri. Dan, kunci pembuka peti uang para investor yang kena tipu itu pun tak pernah ditemukan.
Pertanyaan besarnya, apakah uang itu masih ada? Siapa yang menjadi penjamin setelah Quadriga dinyatakan pailit? Benarkah jenazah Cotten yang dikuburkan di India lalu diotopsi?
Film ini tak menyentuh ke sana. Cukup sampai bahwa para korban dengan segala upaya diskusi intens melalui Telegram, harus siap rela menerima kenyataan pahit. Uang amblas, setelah sang penjahat bablas. Persis di Indonesia kan? (*)