SINYALMAGZ RATE: 7/10
GENRE: Dokumenter (57 menit)
WWW.SINYALMAGZ.COM – “Kami tak membela Marxisme atau kapitalisme,” ujar si rambut dreadlock dengan akses Jamaikanya yang kental, “kami membela Rasta!”
Itulah Robert Nesta Marley. Namun sikapnya ini pula yang membawanya menjadi korban politik. Bob Marley memiliki magnet sebagai ikon Jamaika di era paska perang dingin. Berkali-kali dua kubu politik bersebarangan mencoba menarik Bob Marley. Selalu gagal, tetapi Bob memang sangat dipuja.
Jamaika, di era 70-an porak-poranda akibat polarisasi politik. Negeri berkecamuk, koyak, kekerasan dan tembakan terjadi di mana-mana. Di sisi lain, Amerika pun ikut campur. Bukan rahasia bila Amerika sangat ketakutan jika Jamaika menjadi seperti Kuba.
Sebagai ikon budaya yang karyanya membawa Jamaika hingga mendunia, wajar bila ia layak diduga dapat membawa pengaruh kuat bagi rakyat negeri itu. Bahkan Bob barangkali jauh lebih terkenal ketimbang dua politikus yang haus kekuasaan Jamaika kala itu, yaitu Michael Manley dan Edward Seaga.
Konser Smile Jamaica (1976)
Seaga dan Manley saling berseberangan. Yang satu dianggap pro Amerika dan disetir oleh CIA sehingga oleh warganya diplesetkan jadi “CIAga”. Sementara satu lagi dianggap condong ke Kuba dan dekat dengan Fidel Castro.
Status sebagai simbol yang dianggap membahayakan itu lah membuat Bob harus dimusnahkan. Sebuah pemikiran yang oleh kawan dekat Bob, Nancy Burke yang juga kerap berlatih band di rumah Kingston Jamaika, bertanya-tanya, “kenapa ada orang mau menyakiti Bob?”
Benar saja, malam ketika The Wailers, band Bob Marley tengah berlatih di beberapa orang menyergap masuk. Mereka membawa pistol dan membabi buta menembaki kru. Peristiwa yang terjadi pada 3 Desember 1976 atau dua hari menjelang konser besarnya bertajuk Smile Jamaica itu membawa dua korban, satu kru dan Rita Marley, sang istri yang belakangan hanya cedera ringan. Bob hanya tergores peluru.
Tetapi tragedy malam itu sungguh membuat Bob Marley trauma. Siapa para penembak misterius tersebut?
Masih tanda tanya besar sampai sekarang. Karena itulah Kief Davidson, sutradara film ReMaster: Who Shot the Sheriff? mengemasnya lewat cuplikan-cuplikan dokumentasi. Yang juga mengutip dari salah satu tembang Bob Marley and the Wailers berjudul Shot the Sheriff (dari album Burnin’).
Davidson mengajak beberapa saksi sejarah era kejayaan Bob Marley di akhir 70-an itu, ketika sang raja reggae tengah di persimpangan jalan. Beberapa di antaranya Cindy Breakspeare, Miss World 1976 yang penyanyi jazz dan mantan pacar Bob, Vivien Goldman sang jurnalis Inggris dan kerap bersua Bob selama tinggal di London.
Who Shot the Sheriff? oleh sang penulis skenario, Jeff dan Michael Zimbalist (keduanya filmmaker yang kerap menang di ajang Emmy Awards) hanya menampilkan sepenggal kehidupan Bob terutama keterkaitannya dengan sikapnya kepada Jamaika.
Dalam ketakutan dan kekhawatiran, Bob Marley bersama beberapa anggiat The Wailers akhirnya mengungsi ke bukit. Bahkan saat konser Smile Jamaica yang digelar pada 5 Desember 1976 nyaris gagal. Padahal di National Heroes Park, Kingston Jamaika sudah dijelai sekitar 2.000 pasang mata.
Bob akhirnya memilih damai dengan dirinya. Bersama The Wailers ia turun bukit menuju venue. Kabar ini menyeruak, membuat warga berkerumun menuju tempat konser. Jumlah penonton naik berkali lipat menembus 80 ribu orang.
“Gitarmu adalah senjatamu,” ujar salah seorang teman. Jreng! Bob dan The Wailers langsung menggedor dengan tiga tembang, antara lain; War, No More Trouble dan Get Up Stand Up.
Bahkan, lalu berlanjut ke hingga lebih dari 10 lagu. Konser bertajuk Smile Jamaica itu berakhir manis. Tetapi setelah itu, Bob angkat kaki dari Jamaika. Ia berpindah dari Nassau (Bahama) lalu tinggal di London (Inggris).
Konser One Love (1978), di antara dua peseteru politik
Sepeninggal Bob, Jamaika bukannya membaik. Situasi terus memanas di era perdana menteri Manley. Pada 1978, muncul gagasan sebuah konser yang diharapkan dapat mencairkan suasana membara Jamaika.
Lucunya konser yang diberi nama One Love Concert itu digelar oleh dua kelompok gangster yang berafiliasi ke dua partai berseberangan (JLP dan PNP). Untuk mempersatukan bangsa, musik adalah medianya. Dan, siapakah juru damainya, tidak lain Bob Marley yang tengah ada di London.
Bob menyetujui rencana konser tersebut. Bahkan ketika digelar pada 22 April 1978 itu, dua tokoh partai berseteru, Manley dan Seaga ia ajak naik panggung lalu saling bergandeng tangan.
Apakah Bob Marley mampu menyatukan kedua kubu? Atau musik memang hanya sekadar seni yang mustahil menyatukan dua pihak yang ingin saling berkuasa?