Meutya Hafid dan Isu Digital Indonesia

WWW.SINYALMAGZ.COM –  Setelah era Jokowi pertama, posisi menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika dijabat oleh politikus. Selepas Chief Rudiantara “RA” dilanjutkan politikus Partai Nasdem, Johnny G Plate yang kesandung masalah korupsi. Plate digantikan oleh politikus non partai alias relawan sang presiden kala itu, Projo yakni Budi Arie Setiadi.

Di era pertama Presiden Prabowo lagi-lagi orang partai disisipkan ke kementerian strategis ini. Yakni Meutya Hafid. Politikus perempuan dari Partai Golkar.

Di era Chief RA banyak terobosan digagas dan dilakukan. Di antaranya penyediaan jaringan di seluruh nusantara khususnya di daerah 3T yang dikenal dengan Tol Langit. Juga usulan merger operator agar semakin kuat dalam menghadapi persaingan yang kala itu didominasi oleh Telkomsel. Di era tersebut memang tidak terlalu sering kasus berkaitan dengan kejahatan digital maupun pengelolaan data.

Sementara serangan siber mulai marak justru ketika Johnny Plate menduduki tahta. Beberapa kali ia harus berhadapan dengan kenyataan lemahnya pengelolaan data yang paling utama adalah pada sisi mudahnya diterobos. Selain soal tersebut juga menguat pro dan kontra UU ITE yang paling besar bobotnya pada masalah pencemaran nama baik.

Sayang belum pula rampung periode Plate, ia kadung digaruk Kejaksaan Agung akibat main-main uang proyek aksesibilitas jaringan telekomunikasi yang pelaksananya dibebankan kepada BLU Bakti Kominfo. Sempat jadi megakorupsi sebelum “dikalahkan” oleh kasus tambang timah.

Kompetensi Johnny Plate banyak dipersoalkan oleh banyak kalangan, akibat kekurangpahaman pada dunia telekomunikasi dan informatika. Kabarnya para dirjen di bawah Kemenkominfo harus sering menyuplai data dan ilmu kepadanya.

Penggantinya Budi Arie, begitu sapaan akrabnya, setali tiga uang dalam hal kapabilitas dan kompetensi. Sering diragukan karena tidak memiliki latar belakang di dua bidang besar, khususnya informatika yang sebagian besar merupakan platform digital nan kompleks.

Karena itu kemudian membuat para pelaku digital yakni para hackers dan crackers pun gatal tangan seakan hendak menguji sampai mana kemampuan mengelola kementerian ini. Hasilnya seperti diketahui. Kebocoran data dalam jumlah jutaan terjadi di berbagai institusi. Budi Arie dirujak habis-habisan oleh netizen. Termasuk tiba-tiba nimbrung di kasus Fufufafa yang seharusnya tak perlu ia komentari. Belum lagi perang kepada judi online yang timbul tenggelam pun berskala internasional.

Tak urang hal tersebut membuat DPR bolak-balik memanggil lembaga-lembaga terkait siber. Dan, komisi I DPR pun mencecar habis-habisan. Komisi yang diketuai Meutya Hafid.

Dari semula sebagai pengontrol, kini Meutya harus menjadi pelaku sebagaimana dilakukan Budi Arie sebelumnya. Meutya yang mantan jurnalis yang dulu juga kerap meliput bidang telekomunikasi, ia dihadapkan pada bejibun masalah yang belum sepenuhnya diselesaikan Budi Arie. Kendati terang bahwa kementerian ini akan berhadapan dengan dunia digital yang kian menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari 280 juta masyarakat Indonesia.

Kini di tangan Meutya persoalan Indonesia lebih kompleks. Era informasi digital meliputi hampir seluruh peri kehidupan. Secara definitif pula istilah “Informatika” diubah menjadi “Digital”, artinya ada titik berat pada nomenklatur yang hendak disasar oleh Kementerian Komunikasi dan Digital.

Persoalan digital tidak hanya kebocoran data dan judi online. Versi Media Smarts, Pusat Literasi Media Digital Kanada ada 12 isu digital yang masih “in” sampai hari ini di seluruh dunia. Judi online (gambling) adalah salah satunya. Sementara kebocoran data ialah bagian dari keamanan siber, di dalamnya juga termasuk serbuan obyek digital dan personal.

Sedangkan 10 isu lainnya yang sama krusial di antaranya soal privasi yang  banyak membicarakan tentang tindakan menjaga etika dan data pribadi agar tidak merugikan diri-sendiri.

Kemudian perundungan digital yang terus memarak dalam rupa pelecehan, intimidasi. Tidak hanya terjadi antarpersonal, namun juga antarkelompok, individu-kelompok dan sebaliknya.

Persoalan derasnya arus informasi dan melimpahnya data informasi ikut menjadi persoalan utama dalam dunia digital. Kendati teknologi AI mampu merangkum data dalam jumlah raksasa namun sering kali yang muncul berupa data-data tidak otentik. Era post truth kadang malah diragukan kebenarannya gara-gara terlalu banyak menghimpun data-data tak sesuai.

Di sisi penggunaan akses internet, pemakaian berlebihan yang mengubah perilaku manusia juga termasuk isu besar. Kecenderungan generasi muda tergantung dan berpindah kehidupan ke dunia maya semakin terlihat. Bahkan oleh sejumlah start up situasi ini dimanfaatkan melalui bentukan avatar-avatar imajinatif di buana siber.

Dunia perdagangan digital juga tidak luput melahirkan masalah. Menurut telahaan Media Smarts diam-diam telah terjadi konsumerisme di kalangan anak muda. Perpaduan antara pemasaran digital, kemudahan pembelian, dan hadirnya barang-barang yang dijual supermurah lewat platform sosial media merupakan faktor pemicu.

Sisa isu digital lainnya lebih kepada penggunaan digital (online) untuk melakukan ujaran kebencian. Apapun formatnya. Yang seringkali berbeda tipis dengan kebebasan berekspresi. Yang hal ini berkaitan dengan etika berdaring yang di beberapa negara mulai digalakkan gerakan “good online ethics”.

Yang terakhir adalah beberapa isu yang berkaitan dengan seks serta pornografi. Media Smarts membagi ke dalam tiga bagian yakni pornografi, eksploitasi seks dan sexting (pengiriman dan penerimaan materi yang diduga menimbulkan rangsangan seksual).

Sebagian persoalan dan akibat hukum sudah termaktub dalam peraturan perundangan. Hanya saja pemerintah perlu lebih berani mengambil tindakan dan strategis dalam mengambil keputusan. Sebab, di balik panggung dunia digital terkadang ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar, yang tak tersentuh atau yang tak bisa disenggol.

Meutya adalah menkominfo (menkomdig) ke 8 sejak kementerian ini berubah dari Departemen Penerangan. Menteri perempuan pertama di instansi ini. Kalau kemarin lebih sering “menyidang” menteri, sekarang akan berapa kali ia “disidang” parlemen. Makin jarang, makin bagus. (*)

 

 

 

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled