Masyarakat tidak peduli apa pun teknologi yang digunakan operator untuk layanan generasi kelima (5G), yang penting suara jernih, tidak ada drop call, tarif terjangkau dan sinyal ada di mana pun. Kenyataannya, dua operator (Telkomsel dan Indosat) yang sudah meluncurkan layanan 5G dan satu lagi, XL Axiata akan memulainya hari-hari ini, teknologi yang mereka gunakan masing-masing berbeda.
Telkomsel jelas, menggunakan midband di spektrum 2300 MHz selebar 50 MHz yang tidak dimiliki oleh Indosat Ooredoo dan XL Axiata, sehingga keduanya menggunakan spektrum 4G LTE. Indosat memanfaatkan 20 MHz di spektrum 1800 MHz, sementara di rentang ini mereka hanya punya 22,5 MHz, yang seluruhnya sedang digunakan untuk layanan 4G LTE.
XL Axiata sama, kabarnya akan memanfaatkan teknologi DSS (dynamic spectrum sharing) di middle band atau midwave di 1800 MHz. Gelombang tengah ini dimulai dari 1.000 MHz (1 GHz) hingga 6 GHz, sementara di atas 6 GHz disebut milimeterband atau, high wave dan di bawah middle band, di bawah 1.000 MHz, masuk golongan low band.
Dari ketiga operator, Telkomsel sementara memang unggul karena spektrumnya bersih, sementara spektrum yang digunakan Indosat dan XL sudah dipenuhi 60 juta dan 58 juta pelanggan 4G. Telkomsel pun melenggang, mampu menyediakan kapasitas sampai 750 Mbps, walau akibat pengaruh kendala alam, kapasitas aman adalah sekitar 100 Mbps dan 250 Mbps.
Indosat dibantu Cisco yang menyediakan teknologi yang belum pernah digunakan di Asia Tenggara, segment routing IPv6 (SRv6) dengan network slicing (irisan jaringan). Teknologi SRv6 ini unggul, berhasil mencapai kapasitas unduh sampai 540 Mbps dengan latensi (perjalanan data dari awal sampai tujuan dengan ukuran milidetik) yang mencapai 10 md.
Kapasitas dan latensi yang prima, karena di teknologi 4G latensi terbaik masih sekitar 20 md lebih, dan 5G murni mensyaratkan latensi yang 1 md atau kurang. Bagi Indosat kapasitas sebesar itu sudah cukup untuk membuka peluang layanan 5G, apalagi jika fokusnya digunakan untuk layanan industri, UMKM dan IoT (internet of things), bahkan untuk kebutuhan kota cerdas
Dengan Cisco, Indosat Ooredoo mengubah infrastruktur transportnya menjadi jaringan transport 5G canggih yang dapat diprogram, yang lebih simpel, terukur, gesit dengan kehandalan tinggi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan ritel dan segmen bisnis. Selain itu, network slicing memungkinkan Indosat Ooredoo membuat layanan digital baru untuk setiap pelanggan dengan mengaktifkan fungsi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Lelang milimeterband
XL Axiata akan menggunakan teknologi DSS (dynamic spectrum sharing) di middle band atau midwave. Teknologi ini beda dengan CA (carrier aggregation) seperti yang digunakan di layanan 4G, yang menggabungkan dua frekuensi yang sama untuk mendapat kapasitas lebih besar.
Menurut Direktur Network XL Axiata, Gede Dharmayusa, 4G-5G DSS adalah pemanfaatan spektrum yang sama untuk dua teknologi yang berbeda, 4G dan 5G. Tujuannya, mempercepat implementasi dan penetrasi 5G dengan memanfaatkan spektrum yang ada saat ini yang masih digunakan di 4G. Spektrum yang sama di sini maksudnya sama-sama berada di rentang midwave, antara 1 GHz hingga 6 GHz.
Karena sumber spektrum yang dipergunakan di-share antara 4G dan 5G, tentu saja DSS belum mampu menghadirkan pengalaman 5G yang sebenarnya. DSS lebih dilihat sebagai enabler untuk memperkenalkan teknologi 5G kepada pengguna.
Kecepatan yang bisa diperoleh sangat tergantung dari kondisi trafik jaringan. Tetapi secara teoritis, dengan 20 Mhz dan modulasi 256 QAM (quadrature amplitude modulation – skema yang membawa data yang memodulasi/mengubah amplitudo dari dua gelombang pembawa), maksimum keluarannya (throughput) dapat mencapai hingga 260 Mbps.
Untuk layanan 5G, XL Axiata akan menggunakan spektrum 1800 MHz untuk DSS dan 2100 MHz untuk jangkar (anchor) 4G LTE. XL Axiata sudah membuktikan kemampuan 5G dengan teknologi ini pada uji coba Desember lalu.
Mengikuti tren dunia dalam pengembangan 5G, operator berharap pemerintah segera melelang atau melakukan beauty contest beberapa spektrum yang akan dimanfaatkan untuk layanan 5G murni. Misalnya saja spektrum 700 Mhz ex-TV analog, 2600 MHz, 3500 MHz, 26 GHz dan 35 GHz. Walaupun, 2600 MHz masih dikuasai satu kelompok penyiaran televisi yang izinnya baru berakhir tahun 2025, sementara rentang 3500 MHz masih digunakan untuk layanan satelit.
Iklim kurang sehat
Spektrum mana pun, operator berminat, namun ragu-ragu kalau bicara soal harga yang akan ditetapkan pemerintah. Selain mahal spektrumnya, investasi di 5G jauh lebih tinggi dibanding investasi di 3G atau 4G LTE, yang bahkan di kedua generasi ini hingga kini investasinya belum balik modal.
Itulah sebabnya 5G lebih cocok untuk industri, transportasi perkotaan, kota cerdas (smart city), pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya, bukan untuk ritel. Empat yang terakhir memanfaatkan 5G di layanan IoT (Internet of Things), yang membuat usaha jadi efisien.
Namun iklim industri telekomunikasi di Tanah Air yang kurang sehat, di samping arogansi superior, membuat investasi 5G jauh lebih mahal, bisa 10 kali lipatnya investasi 4G LTE. Apalagi setiap operator “wajib” membangun prasarana 5G dari A sampai Z, baik untuk radio, BTS, FO (fibre optic) dan sebagainya.
Telkomsel boleh tenang karena induknya, PT Telkom, punya jaringan FO lebih dari 100.000 kilometer. Indosat Ooredoo, XL Axiata, juga menggelar FO sesuka dan sesuai kebutuhan mereka, juga Smartfren lewat Moratel.
Padahal di kawasan padat, industri, mustahil operator membangun menara BTS (base transceiver station) setiap jarak 150 meter. Itu di mana pun tugas BTS diserahkan 5G kepada FO dan akibatnya nanti di satu titik akan ada lima juluran kabel FO dari lima operator.
Mungkin ada baiknya, sebelum 5G benar-benar digelar, operator didorong untuk konsolidasi, melakukan infrastructure sharing. Capital expenditure (biaya modal) operator bisa ditekan, tarif pun menjadi tidak terlalu mahal sehingga industri, juga pelayanan masyarakat dan manajemen kota mau memanfaatkan 5G untuk kota cerdas.
Mengajak operator untuk konsolidasi, sudah dilakukan para penguasa di rezim sebelum-sebelumnya. Namun operator selalu diposisikan pada sikap ragu-ragu, karena pemerintah pun tidak tegas soal nasib ke depannya spektrum frekuensi yang mereka kuasai jika terjadi merger, misalnya. ***