sinyal.co.id
Beberapa kementerian saat ini dinilai lebih dinamis yang dapat ditandai dari asal menterinya. Menteri dari kalangan politisi termasuk lambat karena harus konsultasi dengan partainya sebelum mengeluarkan kebijakan, menteri profesional umumnya lebih bebas dan cepat dalam bekerja dan mengambil keputusan.
Menteri dinamis umumnya datang dari industri yang berlatar belakang sama seperti Menhub Ignasius Jonan yang sebelumnya Dirut PT Kereta Api Indonesia, walau kadangkala kebijakannya ditentang kalangan industri atau asosiasi. Atau Menneg BUMN yang memang pebisnis juga Menkominfo Rudiantara yang sebelumnya berkecimpung di telekomunikasi.
Rudiantara pernah jadi direktur di PT Telkomsel dan PT XL Axiata, komisaris di PT Telkom dan PT Indosat. Pengalamannya matang karena pernah jadi wakil direktur utama di PT Semen Gresik dan wakil dirut PT PLN.
Kedinamisan Kementerian Kominfo bisa diukur dari beberapa kebijakan berjangkauan jauh ke depan yang mayoritas diamini oleh industri yang jadi tumbuh efisien sehingga masyarakat diuntungkan. Misalnya soal konsolidasi, mengurangi jumlah operator.
Jika ada aturan yang pernah terbit dari kementeriannya lalu dianggap menghambat industri, segera dia lakukan perbaikan. Masalahnya, ketika perbaikan menyangkut juga lembaga lain, baik selevel kementerian, apalagi lembaga kepresidenan atau legislatif, kecepatannya menata industri seringkali terhambat.
Contohnya soal migrasi televisi analog ke digital yang terhambat di DPR. Soal infrastrutur sharing aktif, menggunakan frekuensi bersama antara dua operator atau lebih yang sudah membuat operator bergairah, mandeg di peraturan pemerintah (PP) sebagai pengganti PP 52/2000 dan PP 53/2000.
Patungan aktif prasarana yang umum disebut sebagai MOCN (Mobile Operator Core Network) belum juga terbit aturannya. Kelambatan PP ini sangat mengecewakan operator yang siap-siap menghemat biaya modal (Capital Expenditure – capex) sampai 50 persen, dengan cara menggunakan BTS bersama.
Soal kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk industri ponsel yang harus membuat pabrik di Tanah Air, juga tidak sejalan dengan kementerian lain. Akibatnya semangat memajukan industri ponsel – yang impornya setahun lebih dari 60 juta unit – tinggal di awang-awang.
TKDN mengharuskan 30 persen pada akhir 2017, namun besarannya yang kemudian mengecewakan industri yang sudah mulai membangun pabrik di Indonesia. Kementerian Perindustrian menetapkan, TKDN bisa 100 persen (dari 30 persen tadi) perangkat keras dan nol persen perangkat lunak, atau 50-50, atau 100 persen perangkat lunak dan nol persen perangkat keras.
Kalau pemilik merek memilih 100 persen perangkat lunak, mereka tidak perlu membangun pabrik di dalam negeri. Mereka menyuntikkan perangkat lunak lokal ke dalam ponsel yang diproduksi di luar negeri dan sah masuk Indonesia.
Pilihan yang diberikan Menperin ini jelas tidak mendukung kebijakan Menkominfo yang bertujuan membangun industri di dalam negeri.