WWW.SINYALMAGZ.COM – Ternyata tak mudah memerangi banjir masuknya ponsel-ponsel ilegal alias black market (BM). Sementara saban tahun rata-rata negeri ini mengalami kerugian sebesar Rp 2,8 triliun. Ini adalah kerugian berupa tidak masuknya pajak ke kas negara.
Kendati peraturan pemakaian IMEI (International Mobile Equipment Identity) sudah diteken bersama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Pun proses sosialisasinya berjalan terus hingga kelak diberlakukan pada April 2020, namun infiltrasi ponsel BM masih terus berlangsung.
Penyadaran kepada konsumen tak berhenti digelar. Ketiga kementerian juga terus menggodok teknis pelaksanaan hingga hari ini. Mungkin juga pihak bea cukai melakukan operasi impor barang ilegal. Namun, para importir gelap masih bisa tersenyum. Karena, mereka tetap tak kehilangan pasar.
Artinya konsumen masih tergiur oleh harga barang yang cukup miring ketimbang harga jual resmi. Maka hukum supply and demand berlaku. Pasokan tak bakal berhenti.
Kehadiran ponsel ilegal tak hanya merugikan negara atas pengenaan pajak. Sistem ritel yang terjadi di pasar ponsel juga berantakan. Produk-produk resmi sulit berkompetisi secara sehat dengan produk ilegal. Importir resmi yang membayar pajak akan berpikir dua kali jika terus-menerus rugi.
Pada masa sosialisasi ini tampaknya pemerintah lebih memilih untuk tidak melakukan tindakan kepada penjual dan pembeli. Namun menggunakan metode edukasi lewat pencekan IMEI yang dapat diakses ke https://imei.kemenperin.go.id/
Tetapi agaknya cara ini pun tak terlalu dipandang peduli oleh konsumen. Apa lacur, masyarakat lebih mementingkan harga ketimbang risiko ke depan. Pendekatannya seperti berbeda dengan ketika pemerintah memberlakukan registrasi SIM card beberapa tahun silam, yang memang membuat jantung konsumen berdebar.
Padahal sama ngerinya, meski tak semasif soal registrasi nomor ponsel. Ponsel ilagal yang didaftarkan atau aktif sebelum April 2020 masih bisa diterima. Setelah itu, usai beberapa hari diaktifkan akan muncul notifikasi ponselny ailegal dan segera ditutup.
Menghadang laju masuknya ponsel BM tak bisa hanya dengan sosialisasi tanpa memberi ilustrasi risiko yang akan dihadapi oleh konsumen. Juga tidak bisa dilakukan tanpa menunjuk leader dari kementerian yang paling berkepentingan yang memimpin proses persiapan pemberlakuan peraturan.
Masing-masing kementerian di atas punya peran dan domain sendiri-sendiri. Akan tetapi satu sama lain saling memiliki keterkaitan. Bahkan sebenarnya Kementerian Keuangan adalah pihak yang paling memperoleh manfaat dalam skema ini.
Apa saja?
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggalang operator sebagai garda penahan penggunaan ponsel-ponsel zonder IMEI terdaftar. Pendekatannya kepatuhan terhadap regulasi. Maka operator musti mulai mengaktifkan perangkat EIR (Equipment Identity Register).
Untuk BTS-BTS belum ter-EIR wajib mengenakan. Dengan EIR ponsel-ponsel yang tidak terdaftar di Kementerian Perindustrian dengan sendirinya akan terblokir dan tak bisa digunakan.
Pengadaan EIR tak lagi dimaknai sebagai penyediaan investasi. Melainkan sebagai tindakan moralitas yang memang harus dilakukan demi menangkal pemakaian ponsel ilegal.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mustinya aktif melakukan pendekatan dan edukasi kepada pabrikan serta pemilik brand. Seluruh produk yang diproduksi harus melalui pendaftaran IMEI. Ponsel-ponsel ilegal jelas tak melampaui proses TKDN. Ini menyalahi peraturan soal TKDN, selain tentu saja menghalangi penetrasi ponsel brand luar maupun lokal yang sudah mematuhi regulasi TKDN.
Jika proses ini berhasil, maka seharusnya iklim industri perakitan ponsel di tanah air lebih sehat. Di sisi lain perdagangan ponsel ber-IMEI sesuai daftar laporan dari produsen lebih teratur.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) aktif memerangi penjualan ponsel khususnya di traditional market maupun on-line shop. Sebab ditengarai peredaran ponsel BM lebih marak di toko on-line. Kementerian harus berpihak penuh kepada peritel atau pedagang jujur.
Nah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang paling akan merasakan dampak positif dari kasus ini harusnya punya andil besar. Lewat direktorat bea cukai sebagai garda depan atas penangkal masuknya ponsel ilegal lebih serius dan proaktif. Tak main-main, lebih tegas, juga berani menghadapi kartel.
Bagi kementerian ini, pada ujungnya mendukung komitmen direktorat pajak memerangi kerugian negara atas pajak yang hilang.
Perang melawan serbuan ponsel ilegal akhirnya terjadi hulu hingga hilir lantaran dilakukan secara parallel dan kolaboratif. Namun ada sedikit pertanyaan; bagaimana dengan ponsel-ponsel ilegal yang telah digenggam konsumen?
Bila April regulasi IMEI berlaku dan ponsel-ponsel ilegal tak bisa digunakan, masyarakat pengguna tentu akan kerepotan. Boleh jadi mereka juga tidak paham dan sadar ketika membeli ponsel ketika itu ternyata ponsel BM.
Di Pakistan, pemerintah “mengampuni” konsumen pembeli ponsel ilegal. Tetapi sebagai kompensasi agar ponsel tersebut dapat tetap digunakan, masyarakat harus membayar pajak. Cara ini cukup memberi solusi win-win.
Tetapi di Indonesia, rasanya sulit dilakukan. Sebab, menurut aturan yang namanya barang ilegal harus dibumihanguskan. Tak boleh digunakan oleh siapapun.
Maka, sisi ini diperlukan kebijakan yang adil. (*)