sinyalmagz.com – Menurut penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), perekonomian Indonesia dapat terhindar dari middle income trap dengan mengembangkan ekosistem paten sektor TIK yang lebih baik, sehingga mampu memberikan insentif bagi investasi penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor tersebut.
Penelitian yang berkolaborasi dengan Qualcomm ini berjudul “Peran Investasi Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta Paten terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.
Lebih jauh, studi ini juga menunjukkan adanya dampak positif dari modal pengetahuan (knowledge capital) terhadap perekonomian Indonesia, jika dibandingkan dengan investasi modal (capital investment).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa paten memiliki dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) jika dibandingkan dengan investasi finansial langsung.
Setiap kenaikan 10% paten di seluruh sektor industri berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB sebesar 1,69%, sementara 10% kenaikan investasi hanya berdampak sebesar 1,64%.
Hasil yang lebih signifikan terlihat di bidang TIK, yang mana kenaikan 10% paten teknologi yang disetujui mampu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan PDB sebesar 2,34%.
Sementara, peningkatan yang sama untuk investasi hanya berkontribusi sebesar 1,87%.
Lebih jauh, riset ini juga menekankan potensi Indonesia untuk meningkatkan sistem patennya yang mana cukup tertinggal dari negara lain.
Sebagai ilustrasi, Indonesia hanya mengabulkan 8,872 permohonan paten, jauh di bawah Korea Selatan yang mengabulkan sebanyak 108.875 atau Taiwan yang sebanyak 76.252.
Berdasarkan penemuan ini, secara umum INDEF merekomendasikan pemerintah untuk mendukung dan mendorong inovasi.
Secara spesifik, INDEF menghimbau lima Kementerian untuk melakukan koordinasi di bidang penelitian dan pengembangan TIK, memberikan insentif dan tambahan anggaran penelitian, penguatan sumber daya manusia, serta mempercepat dan mempermudah proses paten, demi mendorong pertumbuhan dan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia.
Adapun kementerian yang dimaksud antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
“Banyak negara di Asia Tenggara yang terperangkap dalam middle-income trap, terkendala dalam mencapai pertumbuhan berpendapatan tinggi sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pekerja keterampilan rendah dan juga lambannya pengembangan keterampilan pekerja,” ujar Berly Martawardaya, Direktur Program INDEF.
Berly menambahkan salah satu kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi adalah melalui pengembangan ekosistem inovasi yang didukung oleh penciptaan dan perlindungan paten yang kuat.
“Di Asia, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan telah sukses membebaskan diri mereka dengan menawarkan insentif bagi inovasi dan mendorong sektor keilmuan,”terang Berly.
‘Making Indonesia 4.0’ merupakan salah satu inisiatif penting Pemerintah untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara berbasis pengetahuan (knowledge-based).
Kolaborasi antara INDEF dan Qualcomm menunjukkan hubungan antara inovasi yang berbasis pengetahuan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi.
“Perlindungan kekayaan intelektual yang kuat merupakan hal yang fundamental untuk terus menghidupkan inovasi,” ujar Julie G. Welch, Vice President of Government Affairs, South East Asia Pacific & Taiwan, Qualcomm International, Inc.
Julie menambahkan melalui inisiatif ‘Making Indonesia 4.0’, Indonesia siap untuk menyongsong kemajuan melalui pertumbuhan inovasi sehingga dapat menjadi negara yang berdasarkan pada ekonomi berbasis pengetahuan, seiring dengan penguatan proteksi kekayaan intelektual dan usaha pemberian insentif bagi R&D.
Dalam pidato pembuka, Dede Mia Yusanti, Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) dan Rahasia Dagang dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham), mengakui adanya kontribusi paten terhadap perekonomian Indonesia.
“Kajian yang dilakukan oleh INDEF dan Qualcomm ini penting untuk memberikan data dan informasi yang akurat sehingga dapat kami gunakan sebagai dasar dalam mengukur dampak dari paten di Indonesia,” ujar Dede.
Dede menambahkan saat ini kami terus berupaya untuk meningkatkan kinerja dari Direktorat kami melalui penerapan beragam program dan mempersingkat proses-proses paten, sejalan dengan aspirasi kami menjadi Sepuluh Besar Kantor Kekayaan Intelektual Terbaik pada tahun 2020.
Menanggapi hasil riset ini, Noviana Dwi Harsiwi, Staff Paten dari Subdirektorat Valuasi dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menyampaikan mengenai Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional yang dapat menjadi pedoman bagi seluruh lembaga penelitian dan pengembangan di Indonesia dalam meningkatkan iklim penelitian.
“Rendahnya antusiasme peneliti dalam mematenkan hasil penelitiannya diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi, sehingga banyak manfaat paten yang belum diketahui,” ujar Noviana.
Noviana menambahkan hal tersebut juga menimbulkan persepsi terhadap pendaftaran paten yang rumit dan pendaftaran paten granted yang mangkrak.
“Dengan demikian, koordinasi antar lembaga pemerintah menjadi penting, sehingga dapat menciptakan proses dan lingkungan yang lebih baik,” terang Noviana.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Yulia Astuti, Kepala Bidang Kekayaan Intelektual, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dari Kementerian Perindustrian mengakui pentingnya kontribusi paten terhadap pertumbuhan perekonomian, dan koordinasi antar lembaga serta insentif fiskal untuk meningkatkan investasi di bidang penelitian dan pengembangan (R&D).
“Saat ini kami sudah mengusulkan skema insentif untuk R&D, namun hingga kini masih didiskusikan
dengan pihak-pihak terkait sebab riset memiliki risiko yang cukup tinggi,” ujar Yulia.
Terkait dengan sektor TIK sendiri, ia juga mengakui akan potensi yang besar sehingga Pemerintah pun menjadikan sektor tersebut sebagai salah satu fokus ‘Making Indonesia 4.0’.
Adapun cara yang sedang dikembangkan pemerintah salah satunya adalah melalui insentif pajak, produksi elektronik dengan nilai tambah, kerja sama transfer pengetahuan dari luar ke dalam negeri dan meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Sementara itu, Djarot Subiantoro, Ketua Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia, turut mengapresiasi riset yang dilakukan oleh INDEF dan Qualcomm.
Namun, ia menilai bahwa industri di dalam negeri cenderung tidak kompetitif atau pun inovatif disebabkan kondisi pasar yang besar dan makroekonomi yang menarik.
Hal ini mengakibatkan sering kali industri hanya memanfaatkan basis pasar yang besar tanpa menciptakan solusi yang inovatif. Saat ini, industri tidak memahami paten, hanya ada property right dan trademark.
Ini juga yang menjadi perhatian pemerintah agar perlindungan paten dapat lebih luas melalui diterapkannya mekanisme kontrol dan monitoring paten-paten terdaftar.”
Ia juga mengimbau pentingnya strategi nasional yang lebih jelas sehingga paten yang diciptakan dapat menimbulkan nilai ekonomis yang dapat diterapkan dalam industri.
Wirianta, Kepala Pusat Penelitian Aplikasi dan Informatika (Aptika) dan Informasi Komunikasi Publik (IKP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga mengakui masih kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah, namun percaya bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar.
“Indonesia dapat menjadi pemimpin di bidang ekonomi digital di Asia Tenggara melalui pengembangan sumber daya manusia,” ujar Wirianta.
Nies Purwati, Director of Government Affairs SEA, Qualcomm International, Inc., mengungkap alasan dari penelitian ini.
“Sebelum adanya penelitian ini, tidak ada data yang menunjukkan pentingnya paten terhadap perekonomian di Indonesia,” ujar Nies.
Nies menambahkan padahal dengan mengetahui dampak paten terhadap ekonomi dapat mendorong budaya inovasi yang lebih baik sehingga lebih banyak paten yang dapat dihasilkan oleh Indonesia.
AGUNG