sinyal.co.id
Dua tahun rezim Jokowi-JK, dua tahun pula pencapaian yang pro rakyat yang patut diacungi jempol. Dua tahun pula industri telekomunikasi gegap gempita karena dipimpin dan diatur oleh menteri yang paham industri karena merupakan “orang dalam”, tanpa ada yang bersikap kontra.
Masalahnya, di hari-hari terakhir ini, sikap kontra atas kebijakannya datang dari operator dominan yang mampu memicu sentimen kedaulatan, keuangan negara yang disuarakan politisi dan akademisi. Kuat atau tidak menghadapinya tergantung akarnya, karena satu pohon makin tinggi maka makin kencang pula angin menggoyangnya.
Tahun pertama bulan madu, semua bisa menerima kebijakan yang pro industri dan tepuk tangan datang tak henti-henti. Namun ketika kebijakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) yang sudah berusia 16 tahun dan penetapan tarif interkoneksi, tepuk tangan mulai sumbang karena dikatakan menerabas kenyamanan inkamben dominan.
Akan ada benturan-benturan lagi ketika akan melaksanakan beberapa tugas yang masih menunggu, lelang, re-arrangement frekuensi yang sudah dirancang sejak tahun 2015. Yang pasti, frekuensi 2,1 GHz yang tersisa sebanyak 10 MHz di dua kanal terakhir perlu segera dilelang yang sekaligus harus menata kembali penempatan “pemilik” frekuensi.
Tidak terlalu repot karena frekuensi 2,1 GHz, juga 1,8 GHz dan 900 MHz bebas kepentingan dan pemerintah akan dapat menangguk PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) yang tinggi. Frekuensi 2,3 GHz yang ditunggu banyak operator yang tampaknya akan menimbulkan gempa.
Dari 90 MHz di spektrum 2,3 GHz, selebar 30 MHz sudah dikuasakan kepada PT Smartfren sebagai kompensasi gusuran 1,9 MHz, lalu 30 MHz lainnya untuk pemakai teknologi WiMax seperti First Media, tinggal 30 MHz lagi. Kementerian Kominfo merencanakan melelangnya, namun terhambat adanya pihak yang mengklaim – dan dibenarkan di tingkat Mahkamah Agung – memiliki spektrum itu.
Terakhir, frekuensi terseksi untuk layanan 4G dan 5G, spektrum 700 MHz selebar 325 MHz yang masih dikuasai televisi siaran berteknologi analog, yang enggan mengembalikan ke pemerintah meskipun mereka sudah dalam proses pindah ke digital. Pemerintah pun menyatakan hanya akan mengambil sekitaran 125 MHz, yang akan dilelang setelah televisi siaran tuntas bermigrasi ke digital pada 2018.
Semua operator lapar frekuensi karena ke depan layanan akan berbasis pita lebar, dan teknologi di rentang 700 MHz sangatlah murah, hemat dan andal. Jangkauan BTS 700 MHz jauh lebih luas dari frekuensi yang lebih tinggi, sesuai karakternya.
Tinggal lagi Kominfo menimbang, apakah pemenang adalah operator yang berani menawar paling mahal atau yang memang sudah sangat membutuhkan, misalnya Telkomsel yang punya lebar frekuensi sama dengan XL Axiata, 52,5 MHz namun jumlah pelanggannya lebih dari tiga kali lipat. Dan, semua kriteria itu dimiliki oleh Telkomsel.
Hendro