WWW.SINYALMAGZ.COM – Terus melajunya draft revisi Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dengan menerapkan relaksasi lokalisasi data dinilai sebagai bukti pemerintah tengah memamerkan ketidakadilan dalam memperlakukan pelaku usaha di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Demikian pernyataan bersama yang dikeluarkan Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), dan Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki).
Salah satu anggota Pernyataan Bersama Sylvia W Sumarlin dari FTII menegaskan rasa ketidakadilan tengah diperlihatkan pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terhadap pelaku usaha yang bergerak di bidang TIK dengan tidak memberikan ruang perubahan dalam draft revisi PP PSTE, terutama soal relaksasi data, namun bersikap lunak terhadap tunggakan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) dari tiga operator Broadband Wireless Access (BWA) yang sudah menggunakan alokasi sumber daya alam terbatas namun tak membayar kewajibannya.
“Dalam kasus operator BWA nunggak, saya melihat pejabat Kominfo bisa berkompromi. Padahal jelas jika mengacu ke aturan tak ada ruang untuk permohonan penundaan, pengangsuran maupun penjadwalan. Tetapi yang ditunjukkan Pak Menteri ke publik terlihat beliau akomodatif walau terkesan mengabaikan kebijakan sendiri yang kadung sudah mengancam akan mencabut ijin frekuensi,” kata wanita yang akrab disapa Efie itu.
Potensi Kerugian Negara
Efie membandingkan sikap pemerintah kala berhadapan dengan sejumlah organisasi yang menolak relaksasi lokalisasi data dalam draft revisi PP PSTE dimana Menkominfo hingga Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) seperti tak ada kata “mundur” padahal argumentasi yang diberikan untuk mempertahankan adanya relaksasi data itu lemah.
“Kami bisa berikan analisa soal negara berpotensi merugi Rp 85,2 triliun apabila mengabaikan keberadaan pusat data di Indonesia. Bahkan, kami bisa buktikan sudah ada investasi selama lima tahun terakhir senilai US$450 juta karena adanya PP PSTE. Belum lagi bicara kedaulatan digital, semua argumen pemerintah bisa kami mentahkan,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto meragukan investasi akan datang di sektor data center dan juga ICT jika keran relaksasi dibuka. “Bagaimana mungkin dengan memperbolehkan selain data strategis dikelola, diproses dan disimpan di luar wilayah Indonesia tanpa ada kewajiban menyimpan data tersebut di wilayah Indonesia akan bisa mendatangkan investasi? Yang ada malah mereka tidak akan jadi berinvestasi di Indonesia dan ini akan sangat merugikan Indonesia,” tegasnya.
Ketua Umum Aspiluki Djarot Subiantoro menilai pihak yang menyusun draft revisi PP PSTE tak menimbang aturan yang sudah ada seperti Permenkominfo No 20 tahun 2016 tentang perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik yang diundangkan sejak 1 Desember 2016.
Dalam Permenkominfo itu di Pasal 17 ayat 1 dinyatakan Pusat Data (Data Center) dan Pusat pemulihan Bencana (Disaster Recovery Center) Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik yang digunakan untuk perlindungan data pribadi wajib ditempatkan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
“Pasti yang bikin draft revisi PP PSTE beda tim dengan bikin Permen Data Pribadi. Kalau sama tak mungkin blunder gini. Ini juga membantah argumen Pak Menteri dan Dirjen Aptika soal lokalisasi data itu tak bisa dijalankan, lha dia bikin aturan 2016 masih semangat soal lokalisasi data, kenapa sekarang berubah?” tanyanya.
Agenda Asing
Juru Bicara untuk pernyataan bersama Irwin Day menduga adanya tekanan dan agenda asing yang ikut menumpang dalam draft revisi PP PSTE sehingga Menkominfo dan Dirjen Aptika seperti maju tak gentar melawan “teman-temannya” yang di lapangan.
“Kami ini kan kenal Pak Menteri dan Dirjen Aptika. Semmy (Dirjen Aptika/Semuel A Pangerapan) dulu yang paling getol minta data center di Indonesia. Kenapa dia berubah setelah menjabat. Tak mungkin serendah itu dia mengkhianati perjuangan. Saya duga “tekanan” ke mereka berdua ini kuat sekali sampai lupa dengan NKRI,” duga Irwin.
Soal “tekanan” asing, Irwin merujuk kepada pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sejumlah media menyebut data center menjadi salah satu permintaan Amerika Serikat agar RI kembali fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).
“Setelah investigasi lapangan, tak hanya Paman Sam punya kepentingan soal draft revisi PP PSTE, Australia juga. Kita dapat info ada konsultan dari Australia suka sowan ke Kominfo dan beberapa kali diskusi intens soal draft revisi PP PSTE. Ini menyakitkan sekali karena pelaku usaha lokal malah tak diajak diskusi bahas itu draft,” sungutnya.
Executive Director Mastel Arki Rifazka mengingatkan lokalisasi pusat data bukan hanya soal kemudahan akses dalam proses hukum tetapi bagian dari kedaulatan negara atas warganya. Warga negara membayar pajak misalnya bukan hanya untuk menjamin keamanan fisik tetapi juga non-fisik termasuk di antaranya data digital mengenai warga negara.
“Jika terus dipaksakan relaksasi lokalisasi data, maka kekayaan kita akan mengalir ke luar negeri. Data itu adalah the next oil, kalau dibiarkan ditempatkan di luar artinya kita membiarkan harta itu ke luar Indonesia,” pungkasnya.(*)