AKHIRNYA, layanan akses nirkabel pita lebar (BWA – broadband wireless access) tiga operator diputus karena izin mereka dicabut pemerintah, 28 Desember 2018 lalu, setelah melewati polemik singkat. Tiga operator itu, PT First Media Tbk (Kelompok Lippo), PT Internux (Bolt) dan PT Jasnita Telekomindo menunggak pembayaran BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi selama dua tahun yang jatuh temponya 17 November 2018.
First Media menunggak Rp 364,8 miliar, Bolt Rp 343,5 miliar, Jasnita Rp 2,19 miliar. Internux yang semula milik PT Mitra Media Mantap diakuisisi tahun 2015 oleh PT PT First Media, yang memiliki cakupan wilayah operasi Zona 1 Sumatera Bagian Utara dan zona 4 Jabodetabek-Banten, sementara Jasnita bekerja di zona 12 Sulawesi Bagian Utara.
Pemerintah sebelum tahun 2013 memberikan rentang frekuensi selebar 30 MHz di spektrum 2,3 GHz kepada beberapa perusahaan sebagai operator BWA di belasan zona seluruh wilayah Indonesia. Mereka bukan seperti operator seluler GSM karena menggunakan frekuensi dengan teknologi TDD (time division duplex), ke-30 MHz digunakan secara bergantian.
Sementara seluler GSM memakai teknologi FDD (frequency division duplex) yang membagi 30 MHz dalam dua sisi, unggah dan unduh, sehingga secara frekuensi yang dimiliki adalah 15 MHz untuk unggah dan 15 MHz untuk unduh. Dengan diambilnya kembali 30 MHz di spektrum 2,3 GHz, pemerintah berpeluang untuk melelang kembali spektrum yang mampu menyajikan kapasitas tinggi itu.
Di spektrum 2,3 GHz tersedia 90 MHz, selebar 30 MHz sudah diberikan kepada PT Smartfren yang dipaksa pindah dari frekuensi 1900 MHz karena dianggap mengganggu spektrum 2,1 GHz yang digunakan layanan 3G. Sementara 30 MHz lainnya dimenangkan oleh PT Telkomsel dalam lelang tahun lalu senilai Rp 1 triliun lebih.
Sebelum jatuh tempo pada 17 November lalu, PT First Media sempat menggugat Kementerian Kominfo ke PTUN (pengadilan tata usaha negara) yang meminta Kominfo menunda kewajiban pembayaran BHP frekuensi. Sementara Jasnita memang berniat membayar tunggakan dan denda sekaligus mengembalikan frekuensinya.
First Media mengajukan proposal cicilan kewajiban yang tertunggak, namun Kementerian Keuangan tidak melihat ada peluang untuk itu. Akhirnya First Media yang jumlahnya utangnya menjadi Rp 708,4 miliar setuju penutupan layanan Bolt, dengan tetap wajib membayar utang.
Boleh dikata, Internux (Bolt) menjadi pelopor layanan generasi ke 4 (4G LTE – long term evolution) di kancah layanan telekomunikasi Indonesia yang saat itu masih berkutat di layanan 3G. Mengucurkan modal 550 juta dollar AS (kini nilainya sekitar Rp 8 triliun), Internux membangun 1.500 BTS (base transceiver station) TDD di Jabodetabek dan layanannya bisa berkecepatan antara 15 megabit per detik (mbps) sampai 30 mbps.
Setahun (2014), mereka merilis LTE-A (advance) yang secara teori mampu menyajikan kecepatan sampai 150 mbps. Tahun 2017 Internux mengumumkan jumlah pelanggannya sampai 3 juta. Namun pada 25 Desember lalu, menurut catatan Kominfo, pelanggan Internux yang punya kuota Rp 100.000 lebih hanya 5.056 orang, turun dari 10.169 orang pada 20 Desember. ***