TENSI politik naik setiap menjelang pemilu, baik pemilihan anggota legislatif, kepala daerah, dan terutama pemilihan presiden merupakan hal yang mirip dari masa ke masa. Pada saat demikian selalu muncul kekhawatiran akan terjadinya perpecahan, yang akhirnya kembali normal ketika pada saatnya semua menerima hasil pemilu.
Namun pemilihan presiden kali ini, yang diharapkan akan memunculkan calon yang terbaik, sudah diwarnai perang urat syaraf lewat media sosial. Perang akan dimulai secara masif pekan pertama, 4 sampai dengan 10 Agustus 2018, ketika pasangan calon presiden-wakil presiden mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada saat itu mesin kampanye, putih atau hitam, mulai berjalan tanpa bisa dibendung. Prasarananya sudah jelas, teknologi informasi yang makin tahun makin canggih dan kini sudah merambah ke hampir seluruh lapisan masyarakat.
Ada yang beda dengan masa yang sama periode lalu yang masih berupa perang baliho atau sarana fisik lainnya, yang sudah obsolete, kuno, karena berbiaya mahal. Kini dengan medsos, biayanya jauh lebih murah-meriah dengan obyek yang nyaris menjangkau ke seluruh sudut Tanah Air, dengan potensi terjadinya perang antar-pendukung.
Tak perlu modal banyak. Hanya perlu satu tim kampanye yang mampu merancang kalimat tajam yang mampu menusuk pihak lawan.
Masalahnya, masyarakat kita belum terlalu terdidik untuk melakukan check and recheck, tabayyun, dan mudah termakan isu yang belum tentu kebenarannya. Tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang belum memadai – walau kelas menengah atas pun acapkali mudah “digosok” – membuat suasana menjadi panas dan tidak mudah diselesaikan. Apalagi kalau itu sudah menyangkut soal agama, yang membuat sentimen masyarakat mudah tergugah.
Berita bohong, hoax, yang kini menjadi menu harian masyarakat yang sejatinya perlu diwaspadai. Masyarakat harus mampu menahan diri, tidak menelan begitu saja informasi yang masuk, selain aparat keamanan lebih jeli mencari sumber hoax dan menindaknya.
Teknologi informasi membuat potensi sumber kekacauan meniadi kasat mata, mudah mencari dalangnya. Namun masih saja ada yang yakin, boleh menghalalkan segala cara demi dapur tetap berasap.
Soal iman, kelurusan hati, acap ditinggalkan jika urusan perut lebih mendesak. Sudah disampaikan sejak puluhan abad lalu, kemiskinan akan mendekatkan manusia kepada kekufuran, menafikan peran religi.
Mengutip ayat sepotong-potong sehingga keluar dari konteksnya masih menjadi mantera ajaib yang mampu membuat orang berbalik arah. Nauzubillahiminzalik, kualitas kelas apa pemimpin yang naik singgasana dengan cara menyudutkan lawan lewat manipulasi religi?
Apalagi ketika ada pendukung calon peserta pilpres yang menyatakan kalau perlu akan bekerja sama dengan setan asal calonnya terpilih. Padahal bekerja sama dengan setan cenderung menciptakan pemimpin dari sisi setan.
Kita masih punya kesempatan untuk berkampanye untuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden yang bermutu, damai dan santun hingga tahun 2019. Sebaiknya kita mulai melatih mulai dari diri sendiri untuk tidak mudah termakan isu, tidak serta merta meneruskan (forward) isu tanpa tabbayun dan tidak pula ikut membuat kampanye hitam, demi mendapatkan pemimpin yang amanah. ***