Mudah mendirikan, mengelola dan mengembangkan menara BTS di kawasan yang secara geografis memiliki dampak ekonomi dan bisnis. Operator tanpa diminta pasti segara melakukan kajian bisnis. Bila kawasan itu “hijau” segera pula operator membangun. Dalam tempo cepat menara terbangun, on air alias bisa segera digunakan masyarakat atau konsumen.
Kemudian, jika dalam operasionalnya mengalami peningkatan penggunaan (baik per user maupun penambahan jumlah user), operator juga tak sulit memutuskan menambah bandwith. Sebab, hitung-hitungan bisnis sudah pasti menguntungkan.
Namun pola seperti ini tidak berlaku di daerah-daerah terpencil. Daerah di mana jumlah penduduk tidak bertambah secara signifikan, tingkat ekonomi dan pendapatan tidak semujur di daerah kota atau kabupaten, ditambah lagi bentang alam atau situasi geografis sangat menyulitkan untuk membangun bahkan untuk satu menara sekalipun. Kalaupun memungkinkan, biaya logistik untuk pengangkutan sangat mahal, yang bahkan tidak semua operator mau berhitung secara mendetil.
Itulah Indonesia. Negeri seribu alam yang di sisi lain membuat siapapun harus berhitung matang ketika membangun infrastruktur. Termasuk telekomunikasi fisik berupa perangkat receiver dan transmitter.
Benar bahwa seluruh masyarakat punya hak untuk menikmati dan memanfaatkan jaringan telekomunikasi. Bahkan untuk itu Presiden Jokowi memberi mandate yang disampaikan pada saat rapat kabinet terbatas tanggal 3 Agustus 2020. Salah satu mandate tersebut segera mungkin melakukan percepatan perluasan akses infrastruktur digital dan penyediaan layanan internet.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) langsung merespon. Sebagai kementerian yang memiliki tugas dan fungsi di bidang komunikasi dan informatika menindaklanjuti dengan melaksanakan perencanaan program pembangunan BTS berstandar 4G di lokasi-lokasi yang belum terlayani dengan sinyal 4G.
Berbagai studi dan riset dilakukan untuk menentukan lokasi maupun strategi pengerjaan. Kominfo memberi kewenangan kepada badan layanan umum (BLU) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI). Lantas terdata sebanyak 7.904 desa/kelurahan 3T yang akan menerima BTS 4G.
Untuk memudahkan proses pengerjaan dan kontrol, BAKTI mengelompokkan menjadi 5 paket pekerjaan. Guna menggarap pekerjaan besar ini dilakukan dengan model kemitraan yang proses menjadi mitranya dilakukan melalui proses lelang terbuka. Dengan begitu terlibat pihak profesional di dalamnya. Pembagiannya antara lain Paket 1 dan 2 oleh Fiberhome, Telkom Infra dan Multitrans Data. Lantas Paket 3 kolaborasi antara Lintasarta, Huawei serta Surya Energi Indotama. Sedangkan Paket 4 dan 5 join antara Infrastruktur Bisnis Sejahtera dan ZTE Indonesia.
Risiko dan Tantangan
Sejumlah perusahaan mitra ini paham risiko yang dihadapi. Yang paling mudah terbaca adalah risiko pengiriman material ke lokasi pembangunan BTS 4G BAKTI. Pekerjaan ini menjadi tantangan tersendiri. Tetapi demi misi Indonesia bebas blankspot, strategi harus dikedepankan.
Strategi pengiriman material dilakukan dengan menggunakan pengelompokan (pooling) di area gudang. Dari sana kemudian dilakukan distribusi ke masing-masing lokasi BTS 4G yang berada dalam cakupan area gudang regional.
Pengiriman material proyek dari pusat produksi di Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan sarana transportasi kapal laut. Sementara angkutan distribusi gudang di area dengan menggunakan setidaknya tida moda transportasi. Antara lain melalui udara menggunakan pesawat cargo, caravan. Lewat darat memakai truk. Juga via sungai dan laut menggunakan kapal. Semua moda dilakukan karena memang tidak ada single mode menghadapi tantangan geografi. Di tambah beberapa titik terletak di kawasan pegunungan. Sebut saja di antaranya Papua yang untuk mendirikan satu menara saja harus berada di ketinggian 4.000-an mdpl. Itu pun dengan jam kerja lebih pendek karena keterbatasan faktor fisik manusia. Selama apapun aklimatisasi jika cuaca kerap berubah-ubah, jadwal proyek bisa terganggu.
Di daerah 3T yang sangat bervariasi situasi medannya dan umumnya sulit dijangkau harus terbangun 4200 lokasi BTS 4G. Di Papua dan Papua Barat adalah contoh konkretnya.
Di Provinsi NTT, Maluku, Sulawesi Utara, maupun pulau-pulau terluar yang bertahun-tahun terlupakan jaringan telekomunikasi menyimpan cerita dan tantangan berbeda-beda lainnya. Namun secara umum hambatan dan tantangan yang dihadapai dalam penyelesaian pembangunan BTS 4G tersebut antara lain kondisi cauca buruk, terbatasnya pasokan material alam hingga gangguan keamanan utamanya di Papua dan Papua Barat.
Peristiwa 2 Maret 2022 misalnya di mana terjadi serangan penembakan di Kabupaten Puncak yang menewaskan 8 pekerja telekomunikasi. Dampaknya pekerjaan implementasi di hampir seluruh di Propinsi Papua dihentikan atas instruksi otoritas setempat.
Agar masyarakat lokal terlibat mereka juga dilibatkan dalam proses pembangunan. Tetapi tidak semua daerah menyediakan tenaga kerja yang memiliki skill sesuai kebutuhan. Akibatnya keterbatasan pasokan tenaga kerja lokal yang mampu untuk mendukung pembangunan infrastruktur BTS 4G dapat menjadi hambatan. Padahal sebanyak 60% alias sebagian besar dari total BTS se-Indonesia dibangun di provinsi ini.
Badai Covid-19
Program strategis baru dimulai, dunia mendadak kelam. Covid-19 menghantam seluruh aspek. Siapa mengira jika pandemi dengan level kewaspadaan tinggi akibat varian virus yang bermunculan berdurasi selama dua tahun.
Efek ini membuat seluruh pembangunan BTS 4G tertunda. Tetapi di saat yang sama, seluruh warga masyarakat harus beraktivitas di rumah dengan mengandalkan jaringan telekomunikasi untuk bekerja dan belajar. Di kota-kota tentu tidak masalah. Layanan operator ada di sana. Sebaliknya di desa, di kawasan terpencil, yang masuk kategori blankspot, sementara BAKTI tengah membangunnya. Kondisinya sangat berbeda. Secara realistis tak mungkin mendapatkan kualitas jaringan internet yang sama.
Dampak Covid-19 bisa dibilang adalah yang paling menghambat laju pembangunan. Dari 2020, masuk ke 2021 situasi pandemi naik turun, tetapi tidak juga membaik.
Pandemi Covid-19 pada 2021, terutama saat terjadi gelombang kedua sangat berpengaruh pada pelaksanaan berbagai aktivitas pembangunan. Bahkan kegiatan supply chain dimulai dari penghentian atau pembatasan kegiatan fabrikasi material sipil (terutama tower dan pagar), kegiatan logistik dan pengiriman, juga pembatasan perjalanan yang membuat terbatasnya akses ke lokasi pembangunan BTS 4G. Masih pula terjadi kelangkaan spare parts yang dibutuhkan. Kondisi bertubi-tubi ini sangat di luar dugaan.
Belum lagi secara teknis, saat itu ketersediaan vaksin yang belum merata dan sulit diperoleh di daerah-daerah mengakibatkan para pekerja berisiko tinggi terpapar Covid-19. Faktanya, pekerjaan harus tetap jalan, dan banyak karyawan terjangkit virus yang kala itu masuk dalam status mematikan. Soal-soal seperti ini berakibat pada penundaan pekerjaan.
Sama seperti banyak proyek lain non telekomunikasi, tertundanya pengerjaan proyek mengakibatkan efek domino. Tak selesai hari ini, ditanggung di tahun berikutnya. Pembangunan yang sedianya tuntas pada 2021 direnteng di tahun 2022. Sedangkan target 2022 dalam status tetap alias tak mundur, kecuali jika terjadi situasi darurat.
Beban pekerjaan menjadi dua kali lipat alias dobel. Untungnya situasi jauh lebih mendukung. Dalam tempo sekitar 1,5 tahun, BAKTI bersama mitra kerja berhasil membangun BTS 4G di 2.555 lokasi. Dukungan dari pemerintah daerah dan pusat ikut mempercepat proses khususnya soal administrasi dan perizinan.
Capaian BTS 4G
Total jumlah pekerjaan pembangunan BTS 4G yang telah berstatus “on air” alias telah melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat hingga September 2022 sebanyak 4.237 lokasi. Rinciannya 2.555 lokasi (pembangunan periode 2021 hingga September 2022) dan 1.682 lokasi (pembangunan 2015 – 2020).
Tercapainya target ini tak lepas dari evaluasi pada proses pembangunan periode sebelumnya. Sebelum tahun 2020, jumlah BTS 4G yang dibangun selama 6 tahun hanya sekitar 1.682 lokasi. Artinya rata-rata hanya sekitar 200 – 300 lokasi per tahun. Untuk mengejar jumlah 2.555 lokasi maka membutuhkan waktu 5-8 tahun.
Bila tidak ada halangan serius, bisa jadi proses pembangunan menjadi lebih cepat. Dengan harapan mengurangi setiap titik blankspot.
Seiring dengan proses pembangunan, proses lainnya juga berjalan secara paralel. Pekerjaan tersebut antara lain melakukan monitoring dan evaluasi guna memastikan sinyal BTS 4G yang sudah terbangun bekerja dengan baik.
Kini banyak kawasan menggeliat setelah sinyal telekomunikasi hadir. Salah satu contoh terjadi di Desa Tarlawi, Kabupaten Bima, di NTB. Perlu satu jam perjalanan meniti perbukitan curam ke desa terpencil ini.
Penduduknya hanya 1.500 jiwa yang sudah pasti sulit dilayani oleh operator telekomunikasi. BAKTI masuk ke desa yang terhitung terisolasi ini. Sebelum BTS 4G hadir, penduduk harus turun ke kota untuk memperoleh informasi. Artinya proses belajar online pun mustahil.
Maret 2022 silam, desa ini bergairah, akses internet bukan sebuah impian, namun adalah sebuah kenyataan.
Warga Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, NTT sudah setahun ini bisa berselancar di dunia maya. Kendati belum sepenuhnya stabil dan lancar, toh sebuah lompatan baru membawa mereka ke era transformasi digital sebagaimana harapan presiden.
Membangun prasarana telekomunikasi tidak seperti membalikkan telapak tangan. Pekerjanya bukan bak Bandung Bondowoso yang mendirikan Candi Prambanan dalam semalam dalam legenda Roro Jonggrang. Sulit dan penuh lika-liku. Seberapapun biaya yang tersedia bukan jaminan sebuah proyek segera rampung.
Bahkan ketika selesaipun, situasi keamanan akibat gangguan kelompok tertentu bisa pula menghancurkan sesuatu yang telah dibangun sangat mahal dengan cucuran darah dan air mata. (*)