WWW.SINYALMAGZ.COM – Dengan jaringan 4G yang merata di Indonesia sebenarnya sudah cukup mampu mengakomodir berbagai kebutuhan akan arus informasi seputar kesehatan masyarakat. Apalagi Indonesia dengan lebih dari 13 ribu kepulauan mengisahkan betapa tidak mudah mengelola kesehatan masyarakat. Terlebih di daerah terdepan dan terpencil. Seperti di kepulauan Mentawai Sumatera Barat, di mana dr. Chandra Kurniawan, SpOG, seorang spesialis Onkologi bekerja pada Rumah Sakit Daerah setempat.
“Terpisah sejauh 150 km dari Padang. Perlu waktu 3,5-4 jam kapal cepat, atau kalau kapal reguler 12 jam. Dan itupun tidak terjadwal,” kisahnya.
Belum lagi jarak antara fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dengan rumah-rumah tinggal penduduk di beberapa kawasan tersebut amat jauh. Sejumlah tenaga kesehatan dalam hal ini dokter harus berjibaku dengan jarak dan waktu.
Karena ke rumah sakit saja sangat jauh, maka berdirinya berbagai puskesmas sangat membantu para dokter maupun pasien yang sakit. Peran puskesmas diberdayakan betul, seperti yang dilakukan dr. Joy Haning, pria muda, dokter yang bekerja di puskesmas Sonimanu, Rote Ndau, Nusa Tenggara Timur. Ini adalah salah satu pulau yang terletak di selatan Indonesia.
Pria ini serius benar mengoptimalkan fungsi puskesmas sebagai layanan kesehatan primer. Di garda depan ia mengobati pasien sakit. Prinsipnya, “Jika layanan kesehatan primer memadai maka jumlah pasien yang dikirim ke RS berkurang. Sehingga biaya pengoatan juga berkurang. Ini akan mendukung kesehatan nasional,” ujar dr. Joy.
Namun ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh negeri ini, sementara aktivitas pengobatan harus terus dilakukan, terjadi gangguan interaksi termasuk konsultasi antara dokter dengan pasien. Bahkan juga sedikitnya menghalangi interaksi antardokter itu sendiri.
Pemerintah Indonesia melalui pencanangan Presiden Jokowi tentang transformasi percepatan digital membuka jalan baru pada bidang kesehatan. Bidang ini menjadi salah satu prioritas. Percepatan digital membutuhkan infrastruktur jaringan internet yang memadai. Sayang, tidak semua kawasan di Indonesia tercakup jaringan untuk arus informasi.
Kehadiran pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika lantas mengisi ruang-ruang kosong yang tidak terjangkau operator telekomunikasi. Dalam hal ini dikerjakan oleh BAKTI Kominfo. “Digitalisasi di sektor kesehatan sangat penting,” tegas Danny Januar, Direktur Layanan TI untuk Masyarakat dan Pemerintah BAKTI Kominfo.
BAKTI adalah tulang punggung penyedia jaringan di daerah yang tertinggal itu. Memang tidak mudah membangun berbagai jenis teknologi jaringan (satelit maupun terrestrial), namun perlahan BAKTI menyelesaikan satu-persatu titik terakses jaringan. Bahkan setiap jaringan telah berkualifikasi 4G. “Nanti sampai akhir 2022 tidak ada lagi desa yang tidak tersedia 4G,” ujar Danny.
BAKTI cukup agresif melakukan pembangunan, apalagi sejak pandemi. Untuk hal itu operator Telkomsel berkomitmen mendukung BAKTI. Ini komitmen dari Telkomsel untuk melayani masyarakat. Meskipun dalam standar Telkomsel tidak profit, namun tetap melakukan pembangunan. Hal itu dinyatakan oleh Juanita Erawati, VP Network Development Telkomsel.
BAKTI juga telah membuat roadmap untuk pelayanan akses internet untuk daerah yang belum terjangkau. Sudah ada perencanaan satelit multifungsi, sekarang sedang dalam proses manufaktur. Satelit ini akan beroperasi pada 2023. Juga diperuntukkan bagi kepentingan pemerintah, di mana memiliki kapasitas 150 Gbps. Target 149.000 titik layanan publik (fasyankes, sekolah, kantor desa, dll).
Dengan keseriusan penyediaan jaringan ini, kini peran pelaku bidang kesehatan dibutuhkan. Telemedicine merupakan solusi tepat untuk menjalankan seluruh aktivitas bidang kesehatan. Solusi tersebut juga telah diundangkan melalui Peraturan Kementerian Kesehatan no 10/2019.
Telemedicine sendiri adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.
Dengan begitu telemedicine mencakup banyak sekali aspek. Tidak hanya tentang interaksi antara dokter dengan pasien. Penggunaan telemedicine sendiri telah dilakukan uji coba oleh BAKTI bersama RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Hasilnya siap untuk disebarluaskan ke berbagai fasilitas layanan kesehatan.
Di sisi lain, para dokter sendiri sebenarnya juga telah melakukan aktivitas serupa dengan telemedicine. Misalnya saja dr. Dr Enrico Napitupulu, Sp. Onk.Rad yang bertugas di RS Umum Pusat Prof. dr. Kandou, Manado, Sulawesi Utara. Misalnya ketika melakukan pelatihan perangkat bernama Linac (Linear Accelerator) alat canggih terapi radiasi.
Konsep telemedicine juga dilakukan ketika melakukan board meeting para dokter. Dengan segala inisiatif tersebut sebenarnya tingal sejengkal saja teknologi telemedicine dapat dioperasikan di Indonesia.
Yang paling sederhana adalah gaya dr. Chandra. Dokter ini cukup kreatif. Telemedicine ia maknai sebagai proses tatap muka dengan pasien secara berjarak. Caranya dengan menggunakan aplikasi messenger seperti WhatsApp atau berbagi informasi melalui media sosial semacam Facebook. “Kami juga membuat podcast dengan radio setempat untuk menyebarkan informasi,” kata dr. Chandra.
Lewat kiat simple ini, pasien maupun tenaga medis lainnya bisa mengakses sekaligus menjalankan “telemedicine” kecil-kecilan seperti harapan peraturan pemerintah tersebut.
Toh, dengan fasilitas jaringan 4G sudah bisa digunakan dan yang paling penting, kerangka menuju telemedicine yang diharapkan pemerintah sudah diawali.
“Kita memerlukan teknologi informasi. Maka kita bisa melakukan perbaikan kesehatan,” harap dr. Chandra. Artinya Telemedicine memang sudah sangat ditunggu. (*)