Dilema Taksi Online

sinyal.co.id

File illustration picture showing the logo of car-sharing service app Uber on a smartphone next to the picture of an official German taxi sign

PROFESI sopir taksi resmi, menggunakan argometer, kini bukan lagi jadi solusi bagi para pengangguran. Sopir taksi dianggap punya sedikit gengsi lebih tinggi dibanding, misalnya, petugas sales – penjualan – yang pendapatannya sebenarnya bisa lebih besar dari sopir.

Sopir taksi punya kesempatan untuk melompat ke posisi lain yang lebih menjanjikan, hanya lewat dialog  dengan penumpangnya. Tidak sedikit sopir taksi kemudian dipekerjakan oleh mantan penumpangnya yang terkesan pada kecerdasan si sopir dari dialog singkat selama perjalanan.

Kini semua berubah, pekerjaan sopir taksi tidak lagi jadi andalan tergusur layanan taksi online. Taksi demikian ini, misalnya taksi Uber dan Grab, selain tarifnya relatif lebih murah, juga bisa datang hanya beberapa menit setelah dipanggil.

Murah tidak juga, sebab sistem dalam aplikasi bukan tidak mungkin “menawarkan” jalur melingkar sehingga menghitung kilometer lebih panjang. Contohnya belum lama ini, taksi resmi hanya mengenakan ongkos Rp 75.000 antara Plasa Gajah Mada ke Lotte Mart Meruya, Grab mengenakan Rp 92.000. Taksi resmi menghadirkan sedan, Grab mengantarkan penumpang dengan minibus.

Soal kecepatan menjemput calon penumpang, andal. Beda dengan memanggil taksi resmi harus lewat telepon, mendatangi tempat-tempat parkir taksi atau menunggu di pinggir jalan dalam panas terik atau rintik hujan.

Grab dan Uber benar-benar menghadirkan layanan “door to door”, dari pintu ke pintu. Beda tarif juga tinggi, Uber buka pintu (flag fall) Rp 3.000 tarif taksi resmi Rp 7.500.

Bagaimanapun, tidak hanya bagi pengusaha taksi resmi tetapi juga tukang ojek kampung, keberadaan angkutan orang berbasis aplikasi daring itu sangat merugikan. Setidaknya, taksi resmi harus melewati prosedur yang mengesalkan, harus menggunakan pelat nomor kuning, harus diuji (kir), harus bayar asuransi.

Perusahaan taksi harus berbentuk badan hukum sehingga harus bayar pajak, harus punya pemusatan kendaraan (pool), bengkel, punya pegawai staf pendukung operasi, mungkin juga harus ada klinik kecil dan semuanya harus diberi pakaian seragam. Ada lagi biaya per taksi, berupa argometer, radio komunikasi, taxi sign di atap, dan sebagainya yang tidak murah.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled