Operator telekomunikasi seluler Indonesia berharap banyak kepada Menteri yang baru, Menkomdigi – Menteri Komunikasi dan Digital – Meutya Hafid yang mantan Ketua Komisi 1 DPR RI. Cocok sebenarnya, karena komisi itu bermitra antara lain dengan Kemkomdigi, sehingga mestinya Meutya paham sekali apa masalah di kementeriannya.
Persoalan yang dihadapi oleh operator telekomunikasi seluler cukup banyak. Dan masalah besar yang selalu diungkap operator lewat media adalah tekanan berat mereka akibat besarnya pungutan pemerintah (regulatory cost) yang mencapai rata-rata 13%, sementara tertinggi yang dibebankan ke salah satu operarator mencapai 14%.
PUNGUTAN BESAR REGULATORY COST
Indonesia termasuk tertinggi dalam menerapkan regulatory cost, karena dunia umumnya memungut hanya sekitar 9%. Operator dalam negeri terberbani pengutan-pungutan yang sebagiannya bahkan tidak punya dasar hukum dan dasar hitungan yang pasti, misalnya BHP (biaya hak penggunaan) operator telko yang 0,5% dari pendapatan kotor, atau menanggung beban pemerintah untuk memberi layanan setara (PSO – public service obligation) yang 1,25% dari pendapatan kotor operator, BHP frekuensi yang dihitung darin sebaran BTS (base transeceiver station – perangkat pengirim dan penerima sinyal radio dari ponsel pelanggan) dan pengambilan sebagian spektrum frekuensi Ketika dua operator melakukan penggabungan (merger).
Sebagian BHP dan pengambilan spektrum itu menurut banyak kalangan tidak memiliki alasan dan hitungan yang jelas, kecuali bahwa pemerintah ingin mengimbangkan kepemilikan spektrum frekuensi sesuai jumlah pelanggan masing-masing. Spektrum yang diambil kemudian dilelang, dan, lagi-lagi dimenangkan Telkomsel yang kaya dan kini punya spektrum frekuensi terlebar 195 MHz dengan 159,5 juta pelanggan.
IOH setelah merger mestinya punya 145 MHz, dipotong pemeruntah 10 MHz jadi 135 MHz, XL Smart berharap tetap memilik 152 MHz. Petinggi Axiata dan Sinar Mas (pemilik Smartfren) berharap tidak akan ada pengambilan spektrum karena “Si Raksasa” sudah punya spektrum mendekati 200 MHz, “Mestinya tidak harus dicarikan tambahan lagi.”
LELANG SPEKTRUM CABUTAN
Merger selalu disarankan pemerintah akibat Indonesia pernah punya tujuh operator, Telkomsel, Indosat Ooredoo, Hutchison Three (3-Tri), XL Axiata, Axis, Smartfren dan Sampurna Telecom, yang terakhir ini sudah ditutup karena tidak mampu. Axis diakuisisi XL Axiata, Indosat dan Tri sudah jadi IOH (Indosat Ooredoo Huthcison) dan kini XL Axiata akan merger dengan Smartfren menjadi PT XL Smart Sejahtera (XL Smart), sehingga beberapa bulan lagi hanya akan ada tiga operator, Telkomsel, IOH dan XL Smart.
Pemerintah berharap dengan jumlah yang makin menyusut akan terjadi efisiensi di industri karena pengeluaran untuk pembelian perangkat teknologi jauh lebih murah, jangkauan operator makin meluas dengan integrasi BTS-BTS yang berdekatan, dan sebagainya. Namun pengambilan spektrum frekuesi selebar 10 MHz setiap merger atau akuisisi, berkembang jadi “hantu yang datang kesiangan” bagi operator yang merger.
Dana hasil lelang spektrum cabutan tadi, yang sekitaran Rp 1 triliun, kemudian disetor ke pemerintah sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak), yang sebagiannya dikembalikan ke kementerian (Kominfo atau sekarang Komdigi). PNBP Kominfo tahun 2024 mencapai sekitar Rp 24 triliun, sebagiannya segera dibagikan ke direktorat jenderal yang menyumbang PNBP, yang selama ini terbanyak diterima Ditjen SDPPI (Sumber Daya Pwerangkat Pos dan Informatika).
Operator telko di dalam negeri sejak lama jadi cash cow (sapi perah) pemerintah dan pejabat-pejabat, walau saat ini tidak separah seperti dua-tiga dekade lalu. Menteri zaman lalu, konon menurut ceritera operator, acap menelepon mereka, hanya dengan mengatakan, kira-kira, “Saya mau ke negeri anu, apakah ada masalah yang bisa disampaikan….?
Memang salah operator sendiri, mengapa mereka selalu menampilkan diri sebagai entitas yang gebyar, yang pendapatannya termasuk sangat tinggi di antara semua jenis usaha. Pada saat awal-awal dua dekade lalu, keuntungan operator dengan 10 juta pelanggan saja sudah bisa mengalahkan perusahaan penerbangan, keuangan dan sebagainya, sehingga terlihat bling-bling.
SERBUAN MASIF OTT
Kini dengan tekanan persaingan, terutama dalam menghadapai serangan OTT (over the top) operator kesulitan mengatur gaya bisnisnya, tetapi regulatory cost tidak pernah turun, malah naik terus. Pemerintah tidak berdaya menahan laju atau membendung OTT yang menjual iklan lewat alur operator, sehingga pendapatan operator pun terus menurun.
OTT adalah layanan streaming yang memungkinkan pengguna ponsel menonton konten melalui internet. Teknologi OTT menyebutkan, penggunanya menjual produk kepada pelangggan operator tanpa menggunakan prasarana operator, kecuali merambat di atasnya. Biaya yang rendah dengan cakupan sesuai milik operator membuat OTT kaya raya, operator gigit jari.
Sayangnya pemerintah belum tahu cara membendungnya atau memajakinya atau meminta sebagian dari pendapatan mereka. “Kita belum punya aturannya,” jawab pemerintah ditanya kenapa OTT tidak bisa dimanfaatkan, sementara beberapa negara sudah mendapat manfaat besar setelah mampu membuat aturan yang membendung OTT.
Menjadi gambaran berapa besar pendapatan OTT yang berleha-leha menggunakan jaringan transmisi lokal tanpa bayar. Potensi pendapatan OTT dunia pada 2024 diperkirakan mencapai 1,32 miliar dollar AS, dan pada 2024, sekitar 788 juta dollar AS di antaranya, sekitar Rp 12 triliun lebih, didapat dari pasar aplikasi Indonesia pada tahun 2023.
Layanan OTT akan terus tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR tahunan 2023-2029) sebesar 6,65%. Contoh layanan OTT adalah Netflix, Amazon Prime, Video, Spotify. Tahun 2029 pengguna layanan OTT di negeri kita akan mencapai 189,5 juta dengan ARPU (pendapatan rata-rata dari tiap pengguna) sebesar 9,17 dollar AS. Pasar video OTT akan mengalami pertumbuhan signifikan karena produksi konten lokal semakin diminati khalayak.
Negara lain, semisalnya Italia dan negara-negara anggota Komisi Eropa dan Amerika Serikat sudah menikmati manisnya cuan OTT. Indonesia, jika berhasil memungut semacam pajak bagi OTT sebesar 1,25% seperti halnya BHP USO, kas negara bisa mendapat sedikitnya Rp 150 miliar yang akan bertambah setiap tahunnya. ***