Judol dan “Regulatory Cost” Komdigi

WWW.SINYALMAGZ.COM – Belum sebulan usia Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto, hal memalukan muncul. Seorang petinggi di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan sebelas rekannya serta empat sipil, ditangkap polisi karena meloloskan ribuan situs judi online dengan menerima sogokan. Padahal petinggi itu diserahi tugas sebagai penjaga gawang masuknya situs judi online yang dianggap merusak masyarakat.

Di sisi lain mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi membanggakan bahwa pihaknya sudah berhasil menutup 3,8 juta konten judi antara 17 Juli 2023 hingga 9 Oktober 2024. Sementara pejabat kementerian yang “nakal” tadi di belakang Budi meloloskan ribuan situs judi sejak lama dan sempat membangun kantor satelit di satu ruko di Galaxi Bekasi.

Petinggi Komdigi tadi setiap bulan mengaku mendapat setoran dari para dalang judi Rp 8,5 miliar, dengan hanya “memelihara” 1.000 situs. Pejabat tadi dan kawan-kawannya langsung diproses pidana oleh polisi, yang diapresiasi Menteri Komdigi Meutya Hafid yang janji akan menutup dua juta situs judi dalam tiga bulan.

Meutya bilang akan memecat karyawannya jika terbukti salah dipengadilan kalau proses hukum sudah berlaku tetap (inkracht).

Beban operator

Sejak ketika masih bernama Kominfo, Komdigi sudah menjadi pusat perhatian publik, antara lain karena dipenjarakannya petinggi-petinggi hingga menterinya akibat korupsi. Saat ini banyak masalah yang belum terselesaikan sejak ditinggal ke penjara menteri Johnnya G Plate,dan diganti Budi Arie, di kementerian yang mengatur industri komunikasi itu.

Boleh dikata semua operator seluler – Telkomsel, Indosat, XL Axiata dan Smartfren – mengeluh beratnya beban biaya yang termasuk tinggi di antara ribuan operator di dunia. Pungutan pemerintah (regulatory cost) mencapai rata-rata 12% dari pendapatan, dengan Smartfren kena 14% sementara Telkomsel 9%, sama dengan rata-rata operator dunia.

Harga spektrum frekuensi juga sangat tinggi, demikian pula biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan biaya-biaya lain. Operator pun kena kewajiban setor 1,25% dari pendapatan kotor mereka untuk biaya pembangunan fasilitas telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar). Iuran itu untuk USO (universal service obligation – kewajiban layanan yang sama) yang seharusnya jadi kewajiban pemerintah memberi layanan sama soal telekomunikasi bagi seluruh warga.

Selain pos-pos tadi yang pungutannya masuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak), operator juga harus membayar kewajiban pajak seperti perusahaan umumnya.

Dalam waktu dekat operator juga harus siap mengeluarkan triliunan rupiah untuk menebus spektrum frekuensi khusus untuk layanan generasi kelima (5G). Telekomunikasi seluler generasi kelima ini mensyaratkan pemilikan spektrum frekuensi tinggi (milimeterwave) di rentang 26.000 MHz (26 GHz), 35.000 MHz (30 GHz) dan seterusnya.

Sementara yang disebut layanan 5G saat ini oleh operator-operator secara terbatas, masih menggunakan spektrum frekuensi untuk layanan 4G – 4G LTE. Itulah 5G rasa 4G, karena yang dipakai spektrum frekuensi 1800 MHz dan 2100 MHz.

Untuk memberi layanan 5G operator seluler paling sedikit harus punya spektrum frekuensi selebar minimal 100 mega (MHz). Padahal sifat frekuensi, semakin tinggi dia, cakupannya semakin sempt, frekuensi 900 MHz misalnya punya cakupan radius 5 kilometer, sementara frekuensi 26.000 MHz cakupannya hanya 200-an meter. Akibatnya untuk satu cakupan wilayah layanan, perlu dibangun banyak BTS (base transceiver station) pada milimeterwave.

Frekuensi 5G

Kecuali mungkin Telkomsel yang dianggap cukup kaya, tiga operator lain (Indosat, XL Axiata dan Smartfren) ketar-ketir kalau harus menebus frekuensi tinggi untuk layanan 5G. Terutama jika berkaca pada berapa besar operator menebus spektrum sebelumnya.

Beberapa tahun lalu, ketika Telkomsel memenangkan lelang 30 MHz pada spektrum 2300 MHz, mereka membayar satu triliun rupiah lebih. Bisa dibayangkan jika setiap operator harus punya sedikitnya 100 MHz untuk layanan 5G, yang kira-kira lebih dari Rp 3 triliun.

Operator menghendaki regulatory cost tadi dikurangi, sehingga porsinya bisa sekitar 9%, agar industri berjalan sehat. Budi Arie Setiadi pernah menjanjikan akan memberi insentif, namun hingga ia pindah kantor sebagai Menteri Koperasi, janji itu belum juga dipenuhinya, juga soal pembagian spektrum frekuensi untuk 5G.

Hal sama juga terjadi di industri perhubungan, ketika operator pesawat terbang asing mengeluh besarnya regulatory cost yang diterapkan. Antara lain berupa bea masuk suku cadang pesawat yang matra perhubungan darat dan laut tidak ada, PPN tiket, harga bahan bakar yang lebih mahal dibanding di negara tetangga.

Dalam soal telekomunikasi seluler, India memberi insentif kepada operator untuk harga frekuensi yang dianggap tinggi dengan mencicil, atau memberi masa bebas pajak (tax holiday). Tetapi sebagai negara yang sedang membutuhkan biaya banyak untuk membangun, Indonesia sangat sensitif pada setiap usulan pengurangan biaya atau harga karena bisa menggangu rencana penerimaan Negara.

Menteri Kominfo sudah lepas tangan, tinggal tanggung jawab penuh Menkomdigi Meutya Hafid yang mantan wartawan dan mantan anggota DPR. Tidak hanya menyelesaikan soal keberatan operator seluler, tetapi juga memerangi judol yang rumit, di saat pejabat mudah tergiur tawaran uang miliaran. ***

Tags:

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled