Note:
Artikel ini sudah dimuat di Halaman Opini Harian Kompas dan di rubrik Finance kompas.com hari senin, 8/1-24
ADU head to head kereta api, kecelakaan yang yang lebih disebabkan ketidaktaatan akan prosedur pengoperasian yang dibuat ganda dan saling mengisi, berlapis-lapis. Prosedur yang selalu punya cadangan jika prosedur pertama terlewatkan atau tidak berfungsi, demi keselamatan.
Layanan penerbangan dan perkeretaapian menggunakan prosedur berlapis untuk menjamin berjalannya layanan dan meminimalisir kecelakaan. Tanpa prosedur demikian kecelakaan akan terjadi begitu saja, seperti kecelakaan kendaraan di jalan tol, yang hanya mengandalkan kehati-hatian pengemudi.
Studi menyebutkan, 80% kecelakaan kereta api akibat kesalahan manusia, human error. Sisanya akibat kesalahan mekanik atau kendala alam.
Tidak ada faktor alam saat tabrakan KA Turangga (Surabaya Gubeng – Bandung/KA No 65A) dengan KA Lokal Bandung Raya (KA no 350) Jumat 5 Januari lalu. Area pesawahan yang datar dan luas dengan sedikit rerimbunan pohon pisang dan beberapa rumah setelah tikungan kecil. Jarak pandang masinis kedua KA baik karena baru jam 06.03, cuaca cerah.
Beda dengan peristiwa Bintaro pada Oktober 1987, masinis kedua kereta api tidak bisa melihat ke depan selain karena tikungan dengan perumahan padat di sisinya, lokomotif dipenuhi penumpang gelap. Sejarah hitam ini menelan korban 139 tewas, 72 di antaranya tewas di tempat dan 254 luka berat, dari sejumlah 3.500-an penumpang kedua kereta.
Peristiwa di jalur tunggal antara stasiun Cicalengka dan Haurpugur Jumat itu menelan 5 korban tewas termasuk masinis dan asisten masinis. Penumpang Turangga 287 dan di KA 350 ada 119 orang.
Beda dengan pesawat yang tingkat kerentanannya kira-kira sama dengan angkutan kereta api, fungsi masininis bukanlah sopir ataupun pilot yang boleh mengendalikan alat angkutnya. Masinis tidak mungkin menghentikan atau memberangkatkan kereta api kapan saja, mustahil membelokkannya untuk menghindari kecelakaan.
Perjalanan KA diatur ketat Gapeka, grafik perjalanan kereta api untuk keberangkatan dan tiba KA di stasiun mana. Gapeka menetapkan tempat dan waktu bersilang (bertemu lalu bergantian pakai rel jalur tunggal yang sama), atau harus berhenti di stasiun apa untuk disusul KA lain.
Jika terjadi kelambatan atau hambatan di perjalanan, prosedur tadi diatur ulang dan diumumkan Pengendali Perjalanan Kereta Api Terpusat (PPKP). Komunikasi antara PPKP dengan semua stasiun dilakukan melalui radio yang juga didengar masinis di lokomotif.
Tanda panah aman
Pada prinsipnya, di satu petak jalan (misalnya antara dua stasiun), tidak boleh ada dua KA dioperasikan, kecuali untuk jalur ganda (double track). Dan, track antara Haurpugur dan Cicalengka masih jalur tunggal (single track), sehingga ketetapan satu petak satu kereta wajib hukumnya.
PPKA (pemimpin perjalanan KA) satu stasiun tidak boleh memberangkatkan KA sebelum mendapat kode aman dari PPKA stasiun di depannya yang dibantu sistem interlocking. KA tidak bisa pergi begitu saja melenggang ke stasiun di depannya saat sinyal keluar stasiun tidak menyala hijau.
Persinyalan di jalur Cicalengka – Haurpugur masih manual, pengecekan keamanan jalur dilakukan lewat komunikasi verbal dan tampilan tanda panah di meja sistem. Jika tanda panah menyala berarti petak di depan aman dan PPKA boleh memberangkatkan KA.
Prinsip lain di perkeretaapian, KA penumpang yang lebih mahal tarifnya punya hak lebih dulu memanfaatkan petak dibanding KA yang kastanya lebih rendah. KA sekelas KA 350 atau KA barang dinomordua-tigakan.
Pada pukul 05.46 hari itu Stasiun Cicalengka diberitahu PPKP, persilangan kereta Turangga dan KA 350 ditetapkan di Stasiun Haurpugur. Pukul 05.49, PPKA Cicalengka minta pernyataan petak aman dari stasiun Haurpugur via telepon antarstasiun, namun tidak direspons/tidak diangkat.
Tanda panah di Cicalengka menunjukkan blok/petak ke stasiun Haurpugur aman. KA Turangga dari arah Stasiun Nagrek pun dibiarkan melintas menuju Haurpugur.
PPKA Haurpugur juga melihat hal yang sama, arah panah blok ke Cicalengka aman, tetapi belum diketahui apakah PPKP juga sudah memberi tahu Stasiun Haurpugur tentang persilangan dua kereta di stasiun mereka.
Arah panah aman membuat PPKA Haurpugur memberangkatkan KA 350 melaju ke Cicalengka pada pukul 05.56. Terjadilah tabrakan adu banteng pada pukul 06.03 WIB.
Biasanya …..
Melihat posisi kereta penumpang yang “mendarat” di kereta lawan, kecepatan kereta api saat tabrakan bisa jadi di atas 60 km/jam, sesudah masing-masing masinis menarik rem mereka. Proses pengangkatan korban tewas akibat terjepit dua kereta pun memakan waktu lebih dari lima jam.
Sistem pengamanan ganda bila ditaati bisa menyelamatkan, namun prosesur berulang ini sering membuat pelaksananya jenuh. Apalagi, penyingkatan SOP (prosedur operasi standar) – yang sejatinya sangat dilarang – acap dilakukan karena “biasanya juga tidak apa-apa”.
Tampaknya perlu pelatihan ulang secara berkala bagi awak stasiun selain rotasi untuk menghindari kejenuhan di samping pembaruan sistem keselamatan interlocking. Walau jalur Bandung – Cicalengka hingga Kroya bukanlah jalur padat seperti Pantura.
Berkaca pada kasus Turangga, apa yang akan terjadi pada kereta Whoosh Bandung – Halim yang kecepatannya 350 km/jam jika cara menanganinya sama? Kemungkinannya kecil.
Selain karena KCIC (Kereta Cepat Indonesia – China) beroperasi di jalur ganda, prosedur keamanannya yang ketat ditunjang sistem seluler GSM pada frekuensi 900 MHz selebar 4 MHz menggunakan teknologi IoT (internet of things).
Spektrum selebar ini ini bukan untuk komunikasi antarponsel tetapi mengawal keamanan dari kemungkinan adu banteng maupun sundulan, dengan kontrol terkendali berkelanjutan secara digital di sepanjang perjalanan. Penggunaan teknologi seluler ini melarang komunikasi pada spektrum frekuensi 900 MHz di radius 40 km kiri-kanan sepanjang jalur rel.
Komunikasi “liar” bisa mengintervensi gelombang radio GSM tadi yang berpotensi mengganggu sistem kendali Woosh. *
Foto: Amad Maska