BELUM lama ini terbetik berita soal transportasi berbasis rel yang “bermasalah” dengan operator telekomunikasi seluler, MRT (mass rapid transit), dan KCIC (Kereta Api Cepat Indonesia China), Jakarta – Bandung. Operator seluler minta keringanan biaya sewa infrastruktur jaringan telekomunikasi di lintasan Stasiun Lebakbulus dan Bunderan HI, Jakarta, sementara KCIC minta dibagi 4 MHz di spektrum 900 MHz yang dimiliki Telkomsel untuk operasional kereta api cepatnya.
Banyak yang berpendapat, dasar permintaan keduanya kurang kuat. Baik dari sisi bisnis dalam kaitan dengan bencana pandemi di kasus MRT, maupun tiadanya hak operator kereta meminta bagian frekuensi dalam kasus KCIC.
Beberapa operator seluler sedang berupaya melakukan negosiasi ulang untuk penurunan tarif sewa di layanan MRT yang dirasa sangat mahal. Pada awalnya, tahun 2019 menjelang mulai operasi, MRT dan operator setuju besaran harga sewa perangkat pasif di enam stasiun bawah tanah, mulai dari Senayan hingga Hotel Indonesia.
Perangkat pasif adalah gelaran kabel coaxial di sepanjang sisi jalur MRT, yang disewa operator untuk dijadikan antena radio mereka. Harga sewa antara Rp 3,5 miliar sampai Rp 4 miliar per operator untuk kapasitas 600 Mbps (mega bit per detik) berlaku hingga 2021 ini.
Ada IBS (in building solution) dengan sekitar 400 buah titik antena di sepanjang jalur MRT. Ada pula tempat pemasangan pengulang (repeater), BTS dan koneksi ke jaringan serat optik milik operator.
Namun begitu MRT mulai beroperasi, sebagian operator menyadari, di tahun pertama saja, tarif ini terasa sangat mahal sehingga memberatkan biaya operasi mereka. Investasinya mahal, bayangan pendapatannya pun tidak sesuai dengan yang dijanjikan MRT semula.
Apalagi di saat pandemi Covid-19 ini. Jumlah penumpang MRT menurun, pendapatan operator telko ikut menukik.
Belum diketahui, berapa besar penuruan tarif yang diusulkan dan apakah sudah ada diskusi awal yang berlanjut ke negosiasi. Namun yang jelas, sama dengan pusat-pusat perdagangan, mal, hotel dan pusat kegiatan lain, MRT juga sedang mendapat masalah akibat menurunnya pendapatan karena pandemi.
Sementara di masa pandemi ini, justru industri seluler yang merupakan salah satu bisnis yang menangguk untung yang tidak sedikit. Semua operator melaporkan adanya kenaikan pendapatan dan bertambahnya keuntungan sejak semester pertama hingga triwulan ketiga tahun 2020, karena meningkatnya kebutuhan masyarakat akan paket data.
Kebijakan PJJ (pembelajaran jarak jauh) untuk murid sekolah dan mahasiswa, juga kewajiban bekerja dari rumah, WFH (work from home), membuat jualan data operator seluler membubung tinggi, walau tidak ada indikasi kenaikan harga. Pemerintah pun, bahkan membeli paket-paket data untuk dibagikan gratis kepada pelaku PJJ di seluruh Tanah Air.
Pelanggan 2G
KCIC yang progres fisiknya saat ini sekitaran 65 persen, sudah mulai bebenah di sisi office-nya. Di sisi fisik sudah terbangun ima terowongan menembus gunung dan bukit Parahyangan sepanjang jalur antara Stasiun Halim di Jakarta Timur dan Stasiun Tegalluar di kawasan Gedebage, Bandung Timur. Tengah tahun ini, 12.000 rel akan datang dari China dan segera digelar di jalur yang ketika melewati dataran ditunjang 1.741 batang pier.
Belum lama ini KCIC meminta pemerintah menyediakan spektrum selebar 4 MHz di rentang 900 MHz yang digunakan Telkomsel, padahal operator itu hanya menguasai 7,5 MHz. Tidak mudah bagi Telkomsel menyerahkan 4 MHz-nya itu, sebab di rentang itu, selain di 850 MHz dan 1800 MHz, menumpuk 30 juta-an pelanggan generasi kedua (2G)-nya yang sebenarnya boros “memakan” frekuensi.
Mereka menggunakan ponsel yang hanya bisa untuk menelepon dan SMS, tidak bisa data karena ponselnya bukan ponsel pintar. Namun masalah utamanya, tidak ada aturan yang memungkinkan selain operator telekomunikasi untuk bisa menguasai frekuensi radio.
Ada peluang, kerja sama frekuensi dan dasar saling menguntungkan, sesuai Undang-Undanga Cipta Kerja, Telkomsel menyewakan frekuensinya kepada KCIC. Namun undang-undang itu belum punya aturan pelaksanannya yang berupa PP (peraturan pemerintah) atau PM (peraturan menteri), selain agak mustahil karena KCIC bukan operator telko.
Pernah ada anomali, ketika Bank Rakyat Indonesia (BRI) diberi izin memiliki satelit komunikasi sendiri. Alasan BRI ketika itu, sewa satelit untuk operasional menjangkau seluruh Indonesia mencapai Rp 200 miliar setahun, dan harga satelit pun sekitar itulah.
Namun BRI kemudian kewalahan mengoperasikannya, karena operasional satelit tidak selesai begitu ditaruh di orbit. Perlu ada stasiun bumi, ada perangkat-perangkat antena besar di puluhan ribu titik di seluruh Indonesia, perlu SDM khusus yang tugasnya sama sekali tidak menghitung uang, memberi kredit atau memandu nasabah membuka rekening.
Ada ilmu tinggi dan mahal, sehingga BRI harus merekrut ratusan orang, insinyur dan ahli teknik, untuk mengoperasikan satelit. Ada lebih dari 36 transponder, padahal BRI Cuma butuh beberapa, namun sisanya tidak bisa disewakan, karena undang-undang melarangnya, sebab BRI bukan operator telekomunikasi.
Nah soal KCIC, kebutuhan spektrum frekuensi bukan untuk ‘halo-halo” antara masinis atau kondektur dengan stasiun atau dengan pusat kontrolnya. KCIC butuh frekuensi untuk mengelola operasional, untuk mengontrol lewat digital operasional, karena rawan sekali mengoperasikan kereta api yang berkecepatan sekitaran 250 km per jam.
Tentu saja beda dengan sepur kluthuk, atau kereta langsam, bahkan kereta kelas Argo yang kecepatan maksimalnya sedikit di atas 100 km/jam. Banyak yang harus dilakukan cepat dalam operasional kereta api super cepat ini, yang agak mustahil mengandalkan tenaga masinis, yang sejatinya hanya seorang machinist – ahli mesin.
Internet of things
Ahli mesin hanya bertugas menjalankan dan memberhentikan lokomotifnya, tidak seperti misalnya sopir, yang bisa membelokkan, mampir (eh), dan sebagainya. Atau pilot pesawat yang bahkan lebih berkuasa daripada pemilik perusahaan penerbangan, karena pilotlah yang bisa memutuskan pesawatnya terbang atau tidak.
Kembali ke masalah 4 MHz, KCIC membutuhkannya untuk mengoperasikan kontrol otomatisnya lewat perangkat IoT (internet of things). Petugas pusat kontrol bisa mengendalikan kereta dengan informasi dari sepanjang perjalanan yang diolah oleh teknologi IoT.
IoT sudah mulai banyak digunakan di industri, pabrik, pertanian, juga transportasi kota dengan adanya mobil tanpa sopir (autonomous vehicle). Hanya saja untuk angkutan kota dan pabrik, misalnya, IoT menggunakan spektrum milimeterband, frekuensi di atas 2.300 MHz, sampai 26 GHz dan 28 GHz.
Milimeterband kapasitasnya besar tetapi jangkauannya sempit, sesuai sifatnya, makin tinggi frekuensi makin sempit jangkauannya. Itu sebabnya mengapa BTS (base transceiver stasion)-nya harus dipasang rapat, sejarak 200-an meter.
Beda dengan frekuensi rendah, sempit, narrow, seperti 450 MHz, 700 MHz, 800 MHz, 900 MHz dan kadangkala 1800 MHz. Jangkauan BTS frekuensi 900 MHz bisa 2 sampai 5 kilometer, kadang bisa 15 kilometer dengan antena payung (umbrella) di kawasan pedesaan.
KCI membutuhkan spektrum 900 MHz bagi teknologi NB-IoT (narrow band IoT) untuk mengontrol kereta api yang melejit kencang. Kereta cepat akan sulit dikendalikan oleh perangkat IoT milimeterband, karena perpindahan layanan (hand over)-nya tidak akan sempat terjadi.
NB-IoT mulai banyak digunakan untuk kawasan luas seperti peternakan, pertanian, perumahan, misalnya untuk mencatu makan ternak pada jam-jam tertentu, menyiram tanaman, semua tanpa campur tangan manusia. IoT untuk pabrik industri atau pergudangan umumnya menggunakan milimeterband yang mengatur pekerjaan dengan memanfaatkan robot-robot.
Penggunaan IoT di industri semacam ini bisa merumahkan lebih dari separuh karyawannya. ***