SELULER generasi kelima, 5G, memang masih jauh dari jangkauan, namun minat operator maupun masyarakat sudah tampak menggebu. Persyaratan berat, antara lain prasarana berupa frekuensi maupun fisik, membuat operator baru mencapai tahap uji coba, sementara calon sasaran layanan 5G melebar tidak hanya ke korporasi melainkan juga ke konsumen ritel.
Penggelaran teknologi 5G membutuhkan lebar pita yang sangat besar, minimal 100 MHz, sementara jumlah frekuensi yang dimiliki rata-rata operator di Indonesia masih kurang dari 100 MHz. Pemerintah sendiri mengalokasikan spektrum 3,5 GHz untuk layanan 5G, spektrum yang masih digunakan untuk layanan satelit, yang akan segera digeser.
Kementerian Kominfo membuka kesempatan operator melakukan uji coba dengan mengalokasikan spektrum frekuensi 15 GHz, 28 GHz dan 60 GHz unlicence. Penggunaan spektrum tinggi ini dimaksudkan untuk mendapatkan kapasitas lebih besar dibanding menggunakan frekuensi lebih rendah. Pemerintah juga akan membatasi pemakaian paling banyak 22MHz pada spektrum 60 GHz yang bebas (unlicence) agar tidak saling ganggu.
Dua dari lima operator seluler, PT Telkomsel dan PT XL Axiata Agustus lalu sudah melakukan uji coba penggelaran 5G, dengan sasaran yang berbeda. Telkomsel lebih ke kebutuhan industri dengan demonstrasi operasional kendaraan tanpa sopir sementara XL Axiata lebih ke layanan publik dan ritel, di kawasan Kota Tua Jakarta Barat.
Direktur Teknologi PT XL Axiata, Yessie D Yosettya berharap pemerintah menyediakan spektrum frekuensi 5G dengan harga Rp 0, namun Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan hal itu tidak mungkin. Dalam lelang frekuensi 2,3 GHz beberapa waktu lalu pita selebar 30 MHz dihargai sedikit di atas Rp 1 triliun.
Menurut Yessie, harga perolehan frekuensi akan menghambat operator memberi layanan 5G, karena untuk spektrum tinggi operator harus membangun tiang BTS di setiap jarak 50 meter. Namun dengan layanan ini Yessie yakin pihaknya akan dapat menyediakan internet satu gbps di tiap rumah di Jakarta hanya dengan Rp 100.000 per bulan.
Selain menjadi masalah belanja modal (capital expenditure) operator, pembangunan BTS berjarak 50 meter juga akan menimbulkan resistensi pemerintah daerah, karena akan membuat estetika kota terganggu. Saat ini saja di banyak bagian kota terlihat sampai 6-7 tiang kabel telepon berdesakan di satu tempat dengan kabel-kabel yang berurai.
Walaupun, penerapan 5G sangat membantu pemerintah daerah dalam banyak hal, terutama dalam upaya membentuk kota cerdas (smart city). Antara lain dalam pemantauan kualitas air sungai dengan sistem pelaporan otomatis, atau pengelolaan sampah, semuanya dengan menggunakan sistem yang terhubung IoT (Internet of Things). Atau juga mengoperasikan bus-bus kota tanpa sopir.
Jika ini semua terwujud, internet super cepat berteknologi WiGig (wifi gigabit) dengan latensi sangat rendah dan layanan umum terkendali lewat 5G, layanan telekomunikasi Indonesia setara bahkan bisa lebih tinggi dibanding Singapura.
Masalahnya, apakah operator mampu memodali itu semua sementara pemerintah masih menganggap pengadaan spektrum frekuensi sebagai salah satu sumber PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang potensial. ***