Caci maki, kekecewaan, kekesalan, seakan sirna sama sekali, orang lupa soal biaya pembangunan kereta ai cepat Jakarta – Bandung yang membengkak dengan Rp 18,02 triliun yang mirip jebakan China. Tampilan yang kemudian dinamai “Whoosh” ini memang cantik, depan luarnya mirip moncong pesawat tempur – tetapi ada yang bilang mirip Naga liar Komodo – tempat duduk di kelas VIP yang berlapis kulit mirip yang ada di kelas bisnis pesawat penumpang jumbo.
Siapa pun akan bilang ini kereta api sempurna. Bayangkan saja ketika pengalaman guncangan dijamin ada sepanjang perjalanan kereta api kita selama ini, eksekutif, bisnis, kelas tiga apalagi sepur klutuk, di Whoosh tidak terasa. Bagi yang pernah merasakan naik kereta cepat TGV (train a grande vitesse) milik perancis, atau ICE milik Jerman, Shinkansen milik Jepang, akan bilang Whoosh ini sama persis dengan mereka.
Sayangnya, stasiun utama Halim letaknya di lingkungan perumahan bukan kelas elit, rumah-rumah berdempetan, jalan lingkungan sempit. Tidak seperti misalnya Gambir yang bertetangga dengan Monas, Istana Presiden, atau Stasiun Kota yang ada taman luas di depannya, pusat ekonomi Ibu Kota.
Namun perjalanannya lembut, tak ada guncangan sama sekali, tak terasa ada perpindahan rel atau sambungannya seperti misalnya di KA Parahyangan, atau Senja, Taksaka. Menuang air di gelas dari botol sepanjang perjalanan di kereta-kereta tadi bisa membuat air di gelas tumpah ke atas, bukan ke samping.
Gelas berisi air di meja yang ada di depan tempat duduk Whoosh kelas tiganya bergetar pun tidak, apalagi tumpah. Bahkan koin seribuan rupiah yang diberdirikan di meja itu tidak menggelinding.
Di kereta lama kita, jangan-jangan bukan cuma koinnya yang akan menggelinding langsung ke gerbong lain ketika diberdirikan di meja, juga cemilan, cepuluhan, cebelasan bekal perjalanan. Apalagi acapkali penumpang sering terhentak ketika masinis konon tancap gas waktu berangkat gara-gara kesal bekal makan siangnya belum dikirim juga oleh restorasi.
Padahal kecepatan Whoosh untuk operasional “hanya” 350 km/jam sementara kecepatan maksimalnya bisa 420 km/jam. Proses peningkatan kecepatan berlangsung dengan lembut, tak ada hentakan sama sekali.
Dari 0 km/jam, saat berangkat, hingga kecepatan 100 km/jam pertama memakan waktu tak sampai lima menit, tanpa penumpang tertekan ke arah sandaran kursi, tanpa guncangan. Kenyamanan diperkuat dengan udara di dalam kereta yang sejuk sehinga tak ada penumpang yang berkipas-kipas. Tetapi tak ada penumpang terlelap keenakan, karena sebelum menguap lebar, keretanya sudah sampai tujuan.
Lebar rel kereta baik Parahyangan atau KRL dan KRD, hanya 1,067 meter sementara lebar rel Whoosh 1,435 meter. Hasilnya gerbong penumpang Whoosh pun lebih lebar, 3,36 meter, dengan tinggi 4,05 meter.
Konsesi 80 tahun
Jarak antar-kursinya cukup untuk seorang setinggi 1,7 m atau lebih yang berkaki panjang. Jendelanya pun lebar-lebar meskipun ada juga yang jarak antar-jendelanya agak lebar sehingga luas pandang penumpangnya terbatas.
Penumpang tak perlu repot membuka pintu keluar gerbong sebelum bordes dan sambungan antar-gerbong. Sensor otomatis membukakan pintu sebelum penumpang menyentuhnya.
Dua toilet di ujung-ujung gerbong nyaman digunakan, air melimpah, penumpang aman dari malu orang bisa melihat mimiknya ketika sedang buang hajat karena toiletnya tertutup dari pandangan luar.
Kursi penumpang di kelas VIP sebaris hanya tiga, 1 – 2, sementara di kelas bisnis konfigurasnua 2 – 2 dan dikelas dua 3 – 2, dengan lebar kursi memadai. Satu rangkaian kereta cepat dengan 8 gerbog bisa membawa penumpang 601 orang, dan KCIC (Kereta Api Cepat Indonesia China) memiliki 11 rangkaian.
Menurut keterangan resmi, kereta ini akan tahan dioperasikan selama 30 tahun, biaya impas dalam 38 tahun dan masa konsesi 80 tahun.
Jer basuki mawa bea, kesejahteraan itu berbiaya. Pembangunan Whoosh berbiaya Rp 108,14 triliun untuk panjang trek “hanya”142,3 kilometer, padahal biaya awal disepakati hanya Rp 89,94 triliun. Di tengah jalan, dengan alasan berbagai perubahan dan penambahan, China meminta tambahan biaya sebesar Rp 18,02 triliun, yang mau tidak mau dipenuhi daripada mangkrak atau disita China.
Mirip “jebakan China” yang membuat aset-aset pelabuhan, bandara dan sebagainya milik Srilanka atau beberapa negara Asia dan Afrika kemudian pindah jadi milik China, kita pun nyaris kena. Bunga bank China untuk overrun ini lebih tinggi dari sebelumnya, menjadi 3,4%, membuat Presiden Jokowi kelabakan, akhirnya jadi semacam buah simalakama.
Membangun kereta api cepat memang mahal dengan masa pengembalian, impasnya, lama sekali. Tetapi Jepang menawarkan harga untuk proyek yang sama sebesar 6,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 94 triliun dengan bunga pinjaman hanya 0,1% setahun.
Nekat mau diperpanjang sampai Surabaya yang jaraknya 500-an kilometer? Hitung lagi, pikir lagi. Ingat, China akan terus berupaya supaya proyek jalan terus, toh risiko bukan dia yang tanggung. ***