Dilema Taksi Online

Pulang makan siang

Dari sisi pandang pengemudi taksi resmi, taksi berbasis aplikasi daring sangat merebut rezeki mereka hingga separuh. Itu sebab kenapa kenapa banyak pengemudi keluar dari perusahaan taksi lalu menjalankan Uber atau Grab sendiri.

Mobil sebagai modal? Mudah, kini banyak perusahaan leasing yang menawarkan uang muka hanya Rp2,7 juta dan cicilan sebesar itu pula hingga sekitaran 60 bulan untuk sebuah Avanza atau Xenia dan Datsun Go. Atau, ada juga yang menjalankan mobil keluarga atau mantan penumpangnya, seperti halnya Hardi (46), mantan sopir taksi resmi, yang kini hanya setor Rp200.000 sehari untuk sewa Xenia majikannya.

Ketika menjadi sopir taksi resmi, setorannya setiap hari antara Rp350.000 sampai Rp500.000 untuk 36 jam kerja, dan itu ia bisa penuhi. Kini Hardi dan sopir taksi online yang bisa mendapat lebih dari Rp600.000 hanya dengan  14 jam kerja dari jam 5 pagi sampai jam 7 sore diseling pulang makan siang.

Menjadi sopir taksi resmi ia mangkal di hotel atau bandara, menunggu bisa sampai 2 – 4 jam sebelum dapat penumpang atau berkelana di jalan raya menjaring penumpang yang memboroskan bahan bakar. Kini pekerjaan Hardi hanya memelototi ponsel cerdasnya untuk menangkap calon penumpang yang ada di sekitar tempatnya berada.

Kelebihan layanan taksi berbasis aplikasi daring memang dari kecepatan mendapat penumpang, dan ini tidak dimiliki semua sopir armada taksi. Walau sebagian perusahaan taksi sudah mengembangkan layanan informasi online dan radio komunikasi, semuanya masih harus melewati prosedur yang memakan waktu sebelum berhasil mengantarkan taksi ke rumah pelanggan.

Salahi aturan

Layanan taksi beraplikasi daring memang menyalahi aturan yang tertera dalam Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan. Apalagi semua taksi Grab dan Uber merupakan mobil berpelat hitam, tidak pernah diuji (kir), tidak punya pool dan sebagainya. Namun itulah tuntutan zaman, sehingga berteriak bagaimanapun Menteri Perhubungan Ignasius Jonan termasuk minta Menkominfo Rudiantara memblokir aplikasi taksi, tidaklah ada hasilnya.

Menkominfo tidak dapat menemukan aturan yang ada untuk memblokir layanan aplikasi, karena tidak termasuk dalam aplikasi yang memuat konten porno atau judi. Menhub Jonan benar, Rudiantara tidak salah, semuanya berpegang pada aturan.

Beda dengan kasus ketika Menhub menyetop layanan Gojek dan Grabbike yang juga melanggar UU 22/2009 karena hal sama, tidak termasuk dalam jenis angkutan umum. Pada kasus itu, aturan perundangan kalah oleh permintaan Presiden agar kebijakan menuruti kehendak masyarakat, yang memang sudah merasa terbantu dengan adanya Gojek dan Grabbike tadi.

Jika demikian, dari sisi negara seharusnya aturan perundangan diubah, disesuaikan dengan kepentingan masyarakat luas. Tidak mudah, karena bisa saja akan mereduksi hal-hal prinsip dalam keselamatan dan keamanan penumpang kendaraan umum, utamanya penumpang sepeda motor.

Bisa saja, Grab dan Uber berpelat kuning, diuji (kir), dan tidak beroperasi sendiri-sendiri, melainkan terdaftar di satu perusahaan berbadan hukum, dan itu sudah mulai dilakukan oleh Grab. Mungkin tidak perlu punya pool, tidak perlu pasang Taxi Sign di atap, dan tarif pun harus mengikuti tarif taksi resmi.

Dari sisi perusahaan taksi resmi, yang kini ada 34 perusahan dengan 22.268 taksi, sebaiknya juga tidak tinggal diam. Mestinya mereka juga gunakan aplikasi daring, sehingga sopirnya tidak perlu mangkal atau menyusuri jalan untuk menjaring calon penumpang agar penghasilan sopirnya meningkat.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled