TAMPAKNYA ada titik terang bagi pemerintah (Menkominfo, Menperin dan Menperdag) untuk menerbitkan keputusan masing-masing soal validasi IMEI ponsel dan alat-alat komunikasi bergerak lain, meskipun waktunya belum ditetapkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri akan berbicara dengan Menkominfo Rudiantara soal potensi pajak senilai triliunan rupiah yang bisa diraih jika dengan validasi IMEI yang dilakukan Kemenperind penyelundupan ponsel pintar bisa dihentikan.
Sri Mulyani yang diwawancara Selasa (20/8) menyatakan akan duduk bersama Rudiantara untuk melakukan konfirmasi soal pajak berkait IMEI (international mobile equipment identification) yang ada di setiap ponsel resmi. Diberitakan, tingginya ponsel pintar selundupan yang mencapai sekitar 9 juta menurut Hasan Aula, Ketua APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia), berpotensi merugikan negara sekitar Rp 2,8 triliun.
Hitungannya, jumlah ponsel selundupan yang umum disebut dengan BM (black market) mencapai 20 persen dari hampir 45 juta ponsel baru yang beredar di Tanah Air, atau sekitar 9 juta unit. Jika harga rata-rata ponsel tadi, terutama iPhone dan Xiaomi, Rp 2,5 juta, maka potensi pajak yang tidak terpungut adalah 10 persen PPN dan 2,5 persen PPh, menjadi sekitar Rp 2,8 triliun.
Dengan validasi IMEI, ponsel BM tidak akan bisa diaktifkan operator karena nomor IMEI-nya tidak tercatat di Kementerian Perindustrian berdasarkan nomor IMEI yang dilaporkan importir resmi. Nomor IMEI didapat produsen ponsel dari lembaga GSM-A yang berpusat di Swiss, dan data IMEI dari ponsel yang dilaporkan importir masuk ke perangkat Sibina sumbangan Qualcomm kepada Kemenperin.
Pembicaraan tingkat dirjen di ketiga kementerian tadi sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu, namun memang belum melibatkan Kemetererian Keuangan/Ditjen Pajak. Sementara ketuga menteri merencanakan aturan validasi IMEI akan dikeluarkan bersama di hari-hari berkaitan dengan peringatan Kemerdekaan RI ke-74 pekan lalu.
Operator pakai Amdoc
Rencana validasi IMEI ini disambut pasar dengan baik, karena distributor ponsel sangat dirugikan akibat harga ponsel BM lebih murah sekitar Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Namun rencananya ponsel BM yang sudah digunakan sebelum peraturan bersama diterbitkan, masih bisa digunakan pemiliknya, sementara yang masih ada di lemari toko-toko ponsel akan diberi kesempatan untuk dijual sampai batas waktu tertentu.
Penolakan muncul dari kalangan operator, karena mereka harus menginstal perangkat lunak baru, yang harganya hampir Rp 3 miliar untuk operator yang punya pelanggan di atas 100 juta. Sebetulnya perangkat yang namanya EIR (equipment identification register) itu ada di sistem BTS yang dbeli operator dari vendor, namun tidak pernah diaktifkan oleh operator. Malah ada operator yang minta perangkat lunak itu ditanggalkan, demi diskon.
Operator bisa saja tdak mau mengaktifkan EIR-nya dan pemerintah bisa membangun C-EIR (central EIR), namun ada kewajban operator menyarahkan data IMEI ponselpelanggan kepada pemerintah. Apa mungkin operator mau membuka data pelanggannya?
Sebagian masyarakat juga menolak, dan menilai penggunaan Sibina (aslinya DIRBS) menjajah kedaulatan Indonesia dan kemungkinan data yang bocor ke Qualcomm sebagai penyumbang. Hal ini dibantah Nies Purwati perwakilan Qualcomm di Indonesia yang mengatakan bahwa alat diserahkan ke Kemenperin tanpa syarat apa-apa, dan saat ini pelatihan yang diberikan oleh Qualcomm ke karyawan Kemenperin masih berlangsung.
Penggunaan perangkat teknis buatan asing sangatlah umum di kalangan operartor karena tidak ada satu pun pabrik yang membuat alat serupa di Tanah Air. Tetapi tidak ada yang menyampaikan kekhawatiran soal kedaulatan, ketika operator telko Indonesia menggunakan peralatan billing dari Amdoc buatan Israel.
Dari upaya pemerintah ini, selain negara mendapat tambahan pajak yang setaip tahun akan terus bertambah, masyarakat juga diuntungkan. Ponsel-ponsel curian yang dilaporkan pemiliknya tidak akan bisa digunakan orang lain karena lewat validasi IMEI, ponselnya diblokir.
Tidak akan ada lagi ponsel spanyolan (sparo nyolong). ***