GELAP, sangatlah tidak nyaman. Apalagi kalau ditambah dengan kegerahan dan itulah yang terjadi pada Minggu 4 Agustus lalu yang dirasakan oleh masyarakat di Propinsi Banten, DKI Jakarta, Jabar dan Jateng.
Listrik catuan Perusahaan Listrik Negara (PLN), mati di seluruh kawasan itu pada pukul 11.48 WIB, ketika banyak muslimin di Jabodetabek dan sekitarnya sudah di masjid dan mushalla untuk menunaikan shalat zhuhur. Semua pintu dan jendela pun terpaksa dibuka lebar agar angin leluasa masuk sementara adzan zhuhur jam 12.00 tidak bisa didengar umat dari luar masjid.
Bukan sekali dua ada pemadaman listrik di sekitaran waktu shalat tetapi biasanya hanya berlangsung sebentar. Beda dengan hari Minggu, di kawasan Meruya dan Puri Jakarta Barat, pemadaman berlangsung hingga pukul 17.30, lalu saat adzan isya dikumandangkan, listrik tewas lagi, baru menyala pukul 21.20.
Orang bilang, bangsa Indonesia itu sangat pemaaf, mudah melupakan kesalahan, tidak terlalu menuntut haknya dan gampang beradaptasi. Juga ketika Jakarta gelap gulita – walau separuh bagian terjadi di siang hari – masyarakat masih tenang menghadapinya.
Sudah pasti yang sehari-harinya tinggal di rumah ber-AC tidak akan betah kecuali punya saung di lantai dua tempat mereka menadah angin. Lainnya membanjiri mal atau tempat-perbelanjaan mewah seperti Sogo, CP (Central Park), PP (Pacific Place), Senci (Senayan City), Plasenta (Plasa Senayan), Plangi (Plasa Semanggi), dan sebagainya.
Di sekitaran sisi jalan tol Jakarta – Merak ada pusat bisnis (CBD) Puri dengan dua mal besar, Mal Puri dan Lipo Mall, penuh sesak manusia yang “ngadem” dan jajan. Jalan sekitaran mal padat kendaraan, semua satu tujuan, sementara kapasitas parkir sangat kurang. Akibatnya, banyak yang sudah masuk terpaksa keluar lagi karena tidak mendapat tempat parkir.
Buang hajat di mal
Pusat-pusat perbelanjaan juga penuh. Superindo yang jadi seperti pasar tradisional saking padatnya, embusan angin dari pendingin udara tidak terasa sejuk lagi.
Mal memiliki generator sehingga tetap terang benderang dan – mestinya – dingin. Tidak semua orang keliling mengisi gerobak dorong dengan belanjaan, karena banyak juga yang antre di muka kamar kecil yang gelap karena lampunya sengaja dimatikan.
Takut salah sasaran, cahaya dari ponsel pun menerangi tempat buang hajat itu. “Apa boleh buat, kalau di rumah habiskan persediaan air,” kata Togar sambil membenahi celananya sekeluar kamar kecil.
Mati listrik berkepanjangan membuat orang panik karena ponsel pun ikut bungkam, walau ada empat bar di sudut kiri ponsel. Semua operator gagal memberi layanan.
Kegagalan memanfaatkan fasilitas nontunai yang perlu jaringan seluler, apakah itu mobile banking, belanja online, diskon gopay atau OVO, membuat sebagian orang mengembalikan belanjaannya ke rak, atau terpaksa membayar tunai. Seperti di banyak gerai di Lippo Mal Puri, yang bahkan membuat anak-anak menangis karena orangtuanya batal membayar burger dan es krim karena hanya punya uang digital.
Saat itu, pembayaran parkir juga gagal karena sistemnya tidak kebagian listrik dari mal. Di gerbang keluar ada petugas yang bertanya masuk jam berapa, kemudian menyebut jumlah yang harus dibayar.
Manula baru
Seorang sahabat juga mengalami hal sama di Citraland, tidak bisa belanja karena mesin EDC pedagang tidak bisa dimanfaatkan. Panggil taksi online tidak bisa, akhirnya pulang naik busway, malah gratis.
Masih mendingan dibanding penumpang MRT di empat kereta yang sedang melaju di bawah tanah, antara Senayan sampai Bunderan HI. Mereka harus susah payah keluar dari kereta lewat pintu darurat dan berjalan di sisi rel sampai stasiun terdekat dalam keadaan gelap gulita.
Sepasang manula-pemula penduduk Puri Indah berceritera, karena gerah di rumah, lewat tengah hari mereka ke mal naik taksi on line. Dua jam kemudian ketika si kakek muda mulai rewel karena persendiannya sakit dan si nenek bolak-harus balik ke WC padahal antrean mengular, mereka kesulitan memanggil taksi, gagal minta dijemput anaknya.
Kakek-nenek kita ini baru berhasil pulang sekitar pukul 20.15 sesaat setelah anaknya berhasil dihubungi.
Mal-mal saat itu dipenuhi orang jalan-jalan lihat-lihat gerai, belanja sekadarnya seperti air mineral, kopi, minuman campuran atau duduk-duduk saja berdesakan di bangku-bangku. Tetapi sepanjang waktu blackout tujuh jam pertama, listrik di beberapa mal mati-hidup, orang pun jadi panik. Apalagi ketika pas adzan isya berkumandang pukul 19.09 aliran listrik mati lagi sampai lewat pukul 21.20.
Pengelola mal tidak pernah mengira blackout begitu panjang, lebih dari biasanya yang hanya beberapa saat. Bahan bakar generator cepat habis sementara pengisian tangki juga tidak cepat terlaksana karena perlu upaya ekstra untuk membeli BBM ke SPBU akibat kemacetan parah.
Tetapi blackout ada hikmahnya, menurut Ibnu Murti, kawan yang terjebak di Citraland. “Sampai rumah orang pada ada di luar bercengkerama, suasana guyub yang jarang terjadi akibat kesibukan masing-masing. Lalu sama-sama pasang bendera 17-an,” katanya.
Soal tuntutan ganti rugi akibat black out tidak terpikirkan. Yang jelas di tengah kesusahan akibat listrik mati, selalu ada kegembiraan yang bisa diciptakan.
Itulah bangsa Indonesia yang penuh keramahan. ***