MENGGELAR layanan telekomunikasi di daerah terluar, terpencil dan tertinggal (3T) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tidak semudah menyediakan fasilitas itu di daerah yang sudah ramai penduduk. Kawasan 3T umumnya tidak terjangkau sinyal telekomunikasi, tidak memiliki fasilitas listrik dan jaringan transportasi, sehingga tidak semua operator yang mau memasang BTS (base transceiver station) mereka, karena tidak menjanjikan keuntungan.
Menjadi tugas pemerintahlah untuk memeratakan fasilitas telekomunikasi dengan berbagai cara, dengan dana USO (universal services obligation) yang dikumpulkan dari semua operator sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor mereka. Lewat Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi), pemerintah membangun kawasan tadi dan menyambungkannya lewat jaringan Palapa Ring dan fasilitas satelit. Dari dana USO tadi, pada 2018 Bakti menerima sejumlah Rp 2,9 triliun.
Jaringan serat optik Palapa Ring, Barat, Tengah dan Timur, hanya mampu menjangkau ibu kota kabupaten, belum sampai ke kecamatan apalagi ke kelurahan dan desa. Di 145.500 titik yang tidak terjangkau ini fasilitas telekomunikasi, khususnya internet, Bakti membuka akses telekomunikasi lewat satelit.
Saat ini Bakti sedang menggelar proses tender pengadaan satelit multifungsi HTS (high throughput satellite), yang jumlah pesertanya tinggal dua, namun baru sampai tahapan optimalisasi teknis. Kedua perusahaan pembuat satelit itu adalah Konsorsium Dharma Bakti yang anggotanya perusahaan satelit asal Luxemburg, Societe Europeenne des Satellites dan anak usaha PT Djarum, iForte, selain PT PSN (Pasifik Satelit Nusantara).
PSN bahkan juga sedang membangun HTS sendiri, satelit PSN VII yang merupakan satelit Ka-band dengan ransponder berkapasitas lebih dari 100 Gbps (gigabyte per detik) berbiaya sekitar Rp 7 triliun. PSN VII akan ditaruh di orbit 146 derajat bujur timur (BT), selain juga pada Februari 2019 ini satelit Nusantara Satu akan mengorbit dengan kapasitas sebesar 13,6 Gbps, berisi 38 C-band dan 8 Ku-band.
PSN juga menyiapkan satelit Nusantara Dua yang berkapasitas 10 Gbps, berisi 20 transponder C-band dan 12 Ku-band, pada April 2020. Jika ketiga satelit ini diluncurkan, PSN akan mampu menyediakan transmisi satelit berkapasitas total 150 Gbps.
Sewa Satelit
Beda dengan biaya satelit PSN VII, satelit milik Bakti yang pengadaannya ditenderkan akan membutuhkan biaya sampai Rp 9,9 triliun yang harus disiapkan oleh pemenang tender. Ujar Menkominfo Rudiantara, pemenang tender akan mendapat penghasilan sekitar Rp 18 triliun selama 15 tahun pengelolaan satelit, dari biaya ketersediaan layanan (availability payment).
Rencananya pemenang tender akan diumumkan pertengahan April atau Mei tahun ini dan proses pembuatan satelitnya sekitar tiga tahun setelah kontrak ditandatangani. Pendapatan availability payment prasarana satelit HTS ini jauh lebih tinggi dibanding yang diterima pemenang tender jaringan Palapa Ring.
Dalam melayani penduduk 3T itu, pemerintah maupun Bakti tidak bisa menunggu tiga tahun sebelumnya siapnya satelit dioperasikan setelah diluncurkan. Kebutuhan yang mendesak diantisipasi Bakti dengan menyewa kapasitas koneksi selebar 21 Gbps dari lima vendor satelit kelas dunia. Mereka adalah PT Indo Pratama Teleglobal, PT PSN, PT Aplikanusa Lintasarta, konsorsium iForte HTS dan PT Telkom.
Meski memiliki beberapa satelit sendiri, PT Telkom dalam proyek ini akan menggunakan satelit Apstar 5C, empat vendor lainnya menggunakan satelit milik operator asing. Aplikanusa Lintasarta menggunakan satelit Intelsat, Indropratama dengan satelit SES 12, iForte memakai satelit Telstar 18 V, dan PSN menggunakan satelitnya sendiri, Nusantara 1 yang baru akan diluncurkan pada Februari dan mulai beroperasi pada April 2019.
Menggunakan jaringan Palapa Ring, Barat, Tengah dan Timur, Bakti akan menjangkau kawasan-kawasan kecil yang belum terlayani, bekerja sama dengan operator seluler. Selama ini sudah ribuan titik tersambungkan, dan mulai Mei tahun 2019 ada 2.000 titik BTS yang dioperasikan, disusul 5.000 ititk pembangunan BTS berikutnya di tahun 2020.
Beda dengan sebelumnya, hanya PT Telkomsel yang mau membangun BTS di kawasan 3T karena hitungan kembali modalnya sangat lama. Meskipun pada kenyataannya, kawasan 3T yang semula tidak memiliki fasilitas telekomunikasi tiba-tiba bangkit begitu penduduknya bisa berinternet, dan pemakaian pulsa atau data per pelanggan lebih tinggi dibanding pelanggan perkotaan.
Ditarik Kerbau
Pola baru, Bakti membangun akses mulai dari Palapa Ring atau satelit HTS, lalu di darat ada tender membangun menara BTS, kemudian operator memasang BTS di menara yang dibangun vendor. Menara bukan seperti yang kita lihat di sekitaran permukiman, namun berupa guey mast, hanya satu tiang setinggi 32 meter yang dikuatkan beberapa kabel baja dari empat sisinya.
Dibanding membangun menara di kawasan yang bukan 3T, bahan pembangunan guey mast jauh lebih murah karena ramping. Hanya saya proses membawa ke titik yang ditetapkan Bakti di pedalaman, membuat biaya melonjak tinggi.
Kecuali baja-baja bahan pembangunan diangkut helikopter berbuntut biaya mahal seperti pernah terjadi di ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua sebelum tahun 2000-an, material guey mast saat ini umumnya dibawa lewat darat atau air. Tidak hanya memanfaatkan kapal, perahu, kelotok, tetapi juga acapkali harus dipikul orang atau dinaikkan gerobak yang ditarik kerbau.
Tender pembangunan menara BTS USO akan termasuk biaya tenaga listrik, baik yang bersumber PLN, menggunakan generator disel maupun solar cell. Di banyak tempat tidak memungkinkan penggunaan generator listrik karena suplai bahan bakar disel selain langka juga sangat mahal akibat kendala alam yang harus ditempuh. Di sini penggunaan solar cell dianggap paling memungkinkan.
Menara yang sudah dibangun vendor yang kemudian dimanfaatkan operator untuk memasang BTS-nya, akan disewa selama tujuh tahun oleh Bakti. Selewat tujuh tahun akan dilepas dan terserah apakah operator masih mau bertahan dan mereka yang selama ini menggunakan menara dengan gratis, harus mulai membayar sewanya kepada vendor yang membangunnya. ***