PESIMISME banyak pihak tentang kapan layanan seluler generasi kelima (5G) di Indonesia memang beralasan, karena hingga sekarang pemerintah belum dapat memastikan spektrum frekuensi mana saja yang akan digunakan. Selain itu berapa besar operator harus menyediakan dana untuk memenangkan lelang frekuensi yang akan diadakan setelah spektrumnya ditetapkan.
Bagaimana lima operator seluler tidak ketar-ketir ketika 5G menyediakan modal untuk setiap operator pita frekuensi selebar ratusan MHz yang harus ditebus. Wong Telkomsel yang 2 tahun lalu memenangkan lelang frekuensi di spektrum 2,3 GHz “hanya” selebar 30 MHz saja harus menguras kocek sebesar Rp 1,05 triliun, belum lagi BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi sejumlah sama setiap tahunnya.
Saat ini tersedia frekuensi untuk layanan 5G di rentang pertengahan, di 2,6 GHz dan 3,5 GHz selain 28 GHz yang sudah digunakan untuk uji coba. Termasuk juga frekuensi rendah yang mulai digeser penggunaannya dari 2G ke 4G, 800 MHz, 900 MHz, 1,8 GHz dan menunggu dikembalikannya spektrum 700 MHz yang masih digunakan untuk siaran televisi..
Dan belum lama ini WRC (world radio communication conference) dalam konferensi di Mesir merilis tiga pita baru milimeter band di 26 GHz, 40 GHz dan 66 GHz. Di rentang 26 GHz tersedia pita selebar 2.750 MHz, sehingga hitungannya tiap operator sedikitnya bisa mendapat jatah pita selebar 500 MHz.
Ada lagi 1.000 MHz untuk masing-masing operator di pita 40 GHz yang menyiapkan frekuensi selebar 6.500 MHz. Nah, berapa besar operator harus menyediakan dana untuk mendapatkan frekuensi, sementara 5G memang membutuhkan lebar pita ratusan MHz untuk bisa sempurna dikomersialkan.
Beda dengan generasi sebelumnya yang saling sambung menyambung dari generasi pertama (1G) dan 2G yang berupa layanan analog, hingga 4G dan 4G LTE yang berurutan. Meski dari 2G orang tidak lagi harus mampir di 3G untuk masuk ke layanan 4G.
Generasi kelima ini segalanya beda, ponselnya beda, cara menangani pelanggan beda, kapasitasnya berbeda dan tarifnya pun bedanya bisa 10 kali lipat 4G. Akibatnya, sasaran segmen pelanggannya tidak mungkin lagi perorangan melainkan korporasi yang butuh kapasitas besar.
Kapasitas besar bisa didapat dari spektrum milimeter band berupa frekuensi yang tinggi, meskipun spektrum sempit seperti 700 MHz, 800 MHz dan 900 MHz tetap dibutuhkan untuk cakupan kawasan yang luas. Makin tinggi frekuensi, makin sempit cakupannya, sehingga ketika frekuensi 1800 MHz punya cakupan BTS (base transceiver station) sampai radius 5 kilometer, spektrum tinggi seperti 28 GHz (28.000 MHz) cakupannya hanya hitungan 100 meter sampai 200 meter saja.
IoT Bisnis Potensial
Karena cakupan sempit itu frekuensinya bisa digunakan berulang kali secara selang-seling, yang dinamakan reuse dan operator yang sudah melakukan uji coba di frekuensi 28 GHz, semua bilang bagus. Terbukti dari keberhasilan operator mengoperasikan kendaraan tanpa sopir (autonomous vehicle), hingga pengelolaan kawasan industri dengan SDM nyaris nol, sampai ke penampilan manusia hologram.
Meski bukan masuk dalam rantai keberlanjutan, namun layanan 5G menjadi keniscayaan, terutama bagi operator, atau dia akan ditinggalkan pelanggannya. Banyak produk layanan seluler yang bisa disajikan operator, dari yang kecil-kecilan sampai yang membutuhkan pita yang sangat lebar, salah satunya lewat teknologi IoT (internet of things).
Secara industri, pertumbuhan layanan IoT sudah sekitar 13 persen pada akhir tahun 2019, dan akan melesat hingga lebih dari 30 persen di dekade mendatang. Indosat Ooredoo merupakan salah satu dari lima operator yang meraup pertumbuhan layanan IoT sampai 18 persen hingga November lalu dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan potensial..
Layanan paling seru yang mereka berikan antara lain NextFleet, untuk bisnis armada angkutan yang semula hanya mampu memantau keberadaan kendaraan. Dengan IoT operator armada angkutan bisa mengetahui perilaku kendaraan dan pengemudinya, tahu persis kapan harus service, ganti oli, ganti ban, berapa konsumsi BBM per 100 kilometer, mampir di mana saja dan sebagainya.
IoT juga akan ditawarkan semua operator untuk membantu pemerintah daerah, kabupaten atau kota, untuk memaksimalkan kota pintar, smart city. Sementara di kawasan agraris ditawarkan IoT dengan memanfaatkan teknologi gelombang sempit yang disebut NB-IoT (narrow band IoT), untuk pertanian dan peternakan yang menggunakan spektrum 900 MHz sehingga bisa menjangkau luasan beradius 15 kilometer.
Dalam uji coba beberapa waktu lalu di kawasan pantura, Smartfren berhasil membuktikan penggunaan teknologi IoT dari 5G bisa membuat industri lebih efisien. Kawasan pabrik industri yang lengang, yang biasanya dipenuhi tenaga kerja yang lalu lalang melayani mesin industri, yang perannya digantikan 100 persen oleh mesin yang dikendalikan secara digital.
Tenaga kerja hanya dikerahkan dalam jumlah sangat sedikit, saat IoT mendeteksi adanya salah satu mesin industri yang mengalami masalah dan perlu perbaikan. Kawasan indusri lebih aman, bersih, hening dan terkontrol serta efisien dalam segala hal. ***