Bulan Maret 2025 belum lagi usai. Ramadhan 1446 H masih tersisa seminggu lagi. Belum ada jadwal resmi yang dirilis perusahaan, tapi berita dan isu sudah berseliweran tentang “nominasi” kandidat Dirut PT Telkom Indonesia yang akan datang.
Wallahualam bissawab.
Sebagai perusahaan yang listing di New York Stock Exchange (NYSE), jadwal RUPS Telkom haruslah mengikuti protokol bursa Amrik yang “luar bisa” ketat.
Segera setelah laporan keuangan (audited) selesai, maka dilaksanakan beberapa agenda; di antaranya roadshow to investor, praRUPS, penetapan jadwal, pengumuman di media dan pelaksanaan RUPS sebelum bulan Juni berakhir.
Apabila ada perubahan pengurus, kementerian BUMN wajib melaksanakan tahapan fit & proper test. Dengan hadirnya BPI Danantara yang diluncurkan pada tanggal 24 Februari 2025 yang lalu, tentulah proses dan prosedurnya akan menyesuaikan ketentuan yang baru.
Ada beberapa sebab mengapa media, pasar dan masyarakat pada umumnya terkesan tak sabaran menanti penyelenggaraan RUPS(LB) PT Telkom Tbk.
Alasan pertama, tentu saja terkait dengan harapan peningkatan kontribusi dividen Telkom di dalam superholding BPI Danantara. Dengan perkiraan aset sebesar Rp 287 T, Telkom saat ini menduduki peringkat ke-6 di antara 7 BUMN andalan Danantara.
Nilai ini kira-kira sepertujuh dari aset Mandiri, atau seperenam BRI, seperlima PLN, seperempat Pertamina, dan sepertiga dari BNI.
Banyak yang terhenyak menyadari betapa “kecil” size Telkom dibanding kelima BUMN di atasnya. Maklumlah, Telkom selama ini dikenal sebagai operator idola masyarakat.
Sebagai BUMN jasa berbasis teknodigital yang footprint operasionalnya seluas Nusantara, memiliki banyak anak perusahaan, dan memiliki pelanggan terbesar dibanding jumlah nasabah perbankan manapun; Telkom ke depan diharapkan dapat bangkit dan berjaya sebagai operator berkelas dunia.
Saat ini adalah masa keemasan bisnis broadband internet yang juga tengah melangkah ke era AI. Lebih dari itu, fasilitas dan jasa telekomunikasi adalah wahana perekat Wawasan Nusantara yang amat berperan dalam pengentasan kesenjangan digital bangsa.
Kedua. Minggu yang lalu, terkait terpuruknya IHSG, Menkeu Sri Mulyani menyindir tata kelola di kalangan BUMN. Kendati tidak secara spesifik menyebutkan BUMN yang mana, namun pastilah kepada emiten saham atau berstatus Tbk.
Malang tak dapat ditolak, performa saham bluechip TLKM sejak awal tahun 2025 ini memang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Berada di bawah harapan dan ekspektasi pasar.
Di selikuran Ramadhan ini, nilai sahamnya berada di sekitar Rp 2.300-an. Warna indikatornya masih merah disertai panah yang mengarah ke bawah.
Padahal, di era menteri BUMN Sugiharto dan Komut Tanri Abeng, Telkom mematok kapitalisasinya di angka $30 Billion. Sila konversikan angka tersebut dengan kurs USD hari ini.
Ketiga. Modal utama operator telco manapun, ketika melangkah masuk ke bursa saham, adalah kepercayaan pasar terhadap kualitas produk dan komitmen layanannya. Jargon tradisionalnya masih ampuh sampai sekarang, yaitu: customer satisfaction, customer intimacy, dan customer loyalty yang dibungkus dengan mantra “The customer is king”.
Pengalihan pengelolaan pelanggan IndiHome Telkom ke Telkomsel pada awal Juli 2023, selama 2 tahun ini agaknya belum dipersepsikan pasar sebagai langkah yang bernilai lebih.
Penerapan doktrin fixed mobile convergence (FMC) sayangnya juga belum berlangsung mulus seperti yang diharapkan.
Pemeliharaan jaringan dan last mile serat optik IndiHome pun masih tergantung pada induknya, dan belum berorientasi pada efisiensi biaya. Hal ini dengan sendirinya berdampak pada struktur tarif IndiHome itu sendiri.
Sementara itu transformasi Telkom menjadi b-to-b provider rasanya belum efektif membudaya di kalangan karyawannya yang selama puluhan tahun amat akrab melakoni konsep customer centric.
Keempat. Strategi “5 Bold Moves” Telkom dengan “3 Pilar Digital”-nya yang digadang akan mengerek harga saham ke level di atas Rp 5.000-an, kiranya perlu dievaluasi dan dilakukan penyesuaian.
Seirama suasana geopolitik di era pemerintahan Kabinet Merah Putih ini, sudah saatnya Telkom melakukan penyelerasan terhadap strategi digital service-nya dengan program unggulan dari Presiden Prabowo, yakni Asta Cita.
Di situ ada goal pengembangan SDM anak bangsa bertalenta digital, implementasi hilirisasi, membangun infrastruktur dari desa, penguatan TKDN dan penerapan kedaulatan digital.
Cita-cita ini harus menjadi dasar pijakan strategi perusahaan ke depan.
Telkom adalah BUMN yang badan usaha sekaligus agen pembangunan. Sejalan dengan visi dan misi Danantara, potensi dan kemampuan Telkom harus ditujukan untuk memajukan industri dan modernisasi negeri, menuju Indonesia Emas 2045.
Kelima. Persaingan bisnis acap tak kenal kompromi. Jangan pernah lengah apalagi meremehkan kompetitor. Saat ini telah hadir “pendatang baru” di dunia pertelekomunikasian yang tiba-tiba eksis secara spektakuler dengan komposisi kepemilikan barunya. Konsep yang diusungnya pun amat populis, yaitu “Internet Murah untuk Rakyat”.
Dia adalah provider internet PT Solusi Sinergi Digital Tbk, atau Surge dengan kode bursa WIFI.
Dengan merekrut beberapa eksekutif pensiunan Telkomsel, perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo dkk ini baru saja merilis kenaikan laba 355% dibanding tahun yang lalu. Harga sahamnya melonjak naik melebihi 100% sepanjang tahun 2024.
Anda boleh membayangkannya. WIFI menawarkan layanan internet speed 100 Mbps dengan tarif Rp100.000 per bulan. Ini benar-benar “gila” tapi nyata dalam upaya penetrasi akses internet guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai satu-satunya perusahaan Tbk berbasis tekonologi di bawah naungan Danantara, Telkom sungguh dituntut berkomitmen penuh dalam memobilisasi segala keunggulannya untuk kemaslahatan pelanggan, masyarakat dan bangsa.
Kita tunggu RUPS perdana Telkom dalam naungan Danantara. Ayo Telkom, rapatkan barisan, bersiap memenangkan persaingan dan raih posisi lima besar Danantara. Pasti bisa! (*)
BACA JUGA: Menko LBP & Prospek BTS Langit