BINALNYA nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akibat perang dagang global, membuat banyak pihak cemas. Di satu sisi pemerintah kerepotan karena harus menguras cadangan devisa untuk menggerojok pasar guna menguatkan rupiah, daya beli masyarakat pun menurun.
Di sisi lain kenaikan nilai tukar membuat eksportir terseyum lebar, pundi-pundi rupiah mereka makin menggembung. Pemerintah Jokowi pun meminta impor dikendalikan dan ekspor ditingkatkan.
Pemerintah cemas karena cadangan devisa menurun drastis, dari 131,98 miliar dolar AS pada Januari 2018 menjadi hanya 119,8 miliar dollar AS pada Juni, yang mengancam daya tahan ekonomi Indonesia dalam pusaran ketidakpastian ekonomi global. Salah satu upaya harus dilakukan, kata Jokowi, kementerian dan lembaga harus mempercepat implementasi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang intinya mendorong produksi dalam negeri.
Penerapan kebijakan TKDN yang sangat menguncang pasar karena merangsang produksi dalam negeri adalah industri telepon seluler (ponsel). Kebijakan yang diterapkan sejak awal masa pemerintahan Jokowi itu mampu menekan impor, menurunkan penggunaan dolar AS untuk belanja internasional.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan, pada tahun 2013 Indonesia mengimpor ponsel sebanyak 60 juta unit, dengan devisa sekitar 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 30 triliun waktu itu). Tahun 2017, dengan kewajiban prinsipal ponsel membangun pabrik atau pusat riset di Indonesia dengan TKDN 30 persen, impor ponsel hanya 11,4 juta unit.
Pada 2013 industri ponsel dalam negeri hanya memproduksi 103.000 unit dengan dua merek, berkembang menjadi 60,5 juta ponsel dengan 34 merek, termasuk 11 merek lokal pada tahun 2017. Kewajiban membangun pabrik di Indonesia dengan TKDN 30 persen, berhasil menghemat setidaknya 3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 43 triliun.
Pabrik pendukung sukucadang pun sudah mulai berkembang dan kini sudah ada lebih dari 24 pabrik yang mampu membuat PCBA (printed circuit board assembly), casing, baterai, kabel data, adaptor dan pengeras suara. Ke depan pabrik lokal akan membuat layar serta mesin utama ponsel, karena skala ekonomi produksi tadi juga akan meningkat sejalan dengan makin besarnya pesanan dari industri.
Masalahnya, pemerintah masih menerapkan bea masuk yang tinggi untuk komponen-komponen penunjang yang masih diimpor. Akibatnya impor ponsel masih banyak yang akan terus ditekan lewat berbagai kebijakan yang menguntungkan industri.
Dari sejumlah merek yang beredar di pasar, mulai muncul merek-merek lokal yang unjuk gigi yang bahkan bisa mengalahkan merek global semisal LG, BlackBerry, Xiaomi, Vivo dan Luna. Walaupun, Samsung masih juga merajai pasar hingga lebih dari 30 persen, disusul Oppo.
Merek lokal yang mulai digemari antara lain Advan yang pangsa pasarnya sudah mencapai 11 persen, lalu Evercoss dan sembilan merek lokal lain yang mulai tumbuh. Bekerja sama dengan Telkomsel saja, dalam enam bulan pertama tahun 2018 ini Advan mampu memasarkan 4,7 juta unit ponsel dari berbagai seri dengan andalan pada seri G1 dan i5 serta i6, menyusul kemudian G2 dan G2-plus.
Ponsel-ponsel lokal ini bisa diterima masyarakat karena berharga lebih murah, di bawah 2 juta rupiah untuk ponsel dengan teknologi generasi keempat (4G- LTE), yang mulai menggerogoti pasar Samsung segmen menengah. ***