KENDATI mengalami kenaikan jumlah pelanggan selama satu setengah tahun terakhir hingga semester 1 tahun 2020 dan mendapat kenaikan pendapatan, Smartfren masih harus menanggung rugi, bahkan sedikit lebih besar. Setahun penuh di 2019, jumlah pelanggan operator milik kelompok Sinar Mas itu naik dengan 91 persen dari 12,3 juta menjadi 23,5 juta, yang disambung dengan kenaikan 10,6 persen menjadi 26 juta pada akhir semester 1 tahun 2020.
Menurut Presiden Direktur PT Smartfren Telecom, Merza Fachys, pendapatan hingga Juni 2020 mencapai Rp 4,3 triliun, naik 46 persen dibanding periode sama tahun 2019, namun ruginya juga naik, dari Rp 1,07 triliun menjadi Rp 1,22 trilun. “Strategi bisnis baru berupa banyak varian produk dari yang paling murah sampai paling mahal membuat penambahan pelanggan lebih pada segmen menengah ke bawah,” katanya.
Kebijakan ini membuat ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) turun dari Rp 34.900 menjadi Rp 28.800 per bulan. Walau ini lebih dinilai sebagai kepada dukungan terhadap mereka yang bekerja atau belajar dari rumah yang mencari produk murah, terutama para pelajar.
Sama dengan PT Indosat Ooredoo yang pada periode semester 1, tahun 2019 dan tahun 2020, pendapatan naik dari Rp 12,3 triliun menjadi Rp 13,5 triliun yang kerugiannya juga naik dari Rp 331,9 miliar menjadi Rp 341,1 miliar. Walau kenaikan jumlah pelanggan hanya 0,9 persen menjadi 57,2 juta ARPU mereka malah naik 12,5 persen dari Rp 27.900 menjadi Rp 31.400.
Angin pandemi memang bertiup lembut kepada semua operator seluler yang dengan kenaikan pendapatan terutama dari lalu lintas (trafik) data, yang rata-rata di atas 60 persen. Hanya saja yang terjadi di Smartfren, kenaikan jumlah pelanggan menuntut perusahaan memperluas jaringan, menambah BTS (base transceiver station), dan itu perlu biaya modal (capex – capital expenditure) dan opex – operating expence, biaya operasi, yang lebih besar.
Ada perkembangan pola konsumsi pelanggan berupa peningkatan penggunaan data di masa pandemi, akibatnya BTS kelebihan beban sehingga perlu penambahan lebar pita (bandwidth) di setiap titik selain perlu menambah BTS. Ekspansi tadi membutuhkan biaya sangat tinggi, beban operasional membengkak, biaya listrik, biaya pegawai dan lain-lain, perlu waktu sampai keadaan membaik.
“Diibaratkan menanam pohon, kami akan memetik buahnya di masa depan, perusahaan akan berbalik untung,” kata Antony Susilo, Direktur Smartfren Jumat (13/8) pekan lalu, sesaat selesai pemaparan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS). Perusahaan menggeber pembangunan BTS, menggelontorkan sekitar Rp 2,6 triliun dari capex tahun 2020 yang Rp 3,72 triliun (250 juta dollar AS) sehingga jumlah BTS kini mencapai 35.600, naik dari 31.100 pada awal tahun 2020.
Dalam RUPS yang berlangsung berhimpitan dengan waktu shalat Jumat itu, mantan Menko Perekonomian dan mantan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution didapuk menjadi komisaris utama perusahaan. Darmin menggantikan Gandi Sulistyanto yang berganti jabatan menjadi wakil komisaris utama. (hw)