DUNIA telekomunikasi berharap kebijakan pemerintah ke depan akan lebih memihak kepada industri yang dirasakan makin terpuruk akibat persaingan ketat yang tidak berkesudahan. Selama ini pelaku usaha, para operator, terjebak pada jor-joran dalam menambah jumlah pelanggan, padahal titik jenuhnya sudah tercapai dengan jumlah pelanggan yang sekitaran 400 juta untuk 264 juta penduduk.
Jumlah operator yang enam: Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Hutchison Tri Indonesia (Tri), Smartfren dan Sampurna Telecom, tidak membuat industri menjadi efisien dan menggairahkan. Teknologi yang harus diadopsi operator pun makin mahal, semisal untuk generasi kelima (5G) yang perlu investasi dalam prasarana selain upaya untuk perolehan tambahan spektrum frekuensi.
Soal konsolidasi, penerapan teknologi 5G dengan penambahan spektrum pita lebar, kebijakan soal IMEI (international mobile equipment identification) yang belum tuntas, selain isu utama soal keamanan data, menjadi PR berat menteri yang baru. Soal keamanan data beum ada titik terangnya padahal pengolahan rancangan undang-undangnya sudah dilakukan sejak lima tahun terakhir.
Keamanan data pribadi makin menjadi isu yang mengkhawatirkan, karena batasan-batasan yang diperlukan untuk pengamanannya masih begitu longgar sehingga contohnya, data penumpang Lion Air sempet bocor. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) sudah mulai memberi batasan yang ketat bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang beroperasi di Indonesia dengan kewajiban mendaftarkan diri.
PP 71/2019 yang akan berlaku pada Oktober 2020 ini menjadi salah satu penguat jika tahun ini aturan hukum tentang keamanan data bisa diundangkan. Makin ke depan, data pelanggan, apa pun itu, akan menjadi sumber daya yang sangat berharga yang bisa diperjualbelikan secara bebas jika tidak diatur dengan ketat.
Pekerjaan rumah yang tidak pernah tuntas di dekade terakhir adalah soal konsolidasi yang membutuhkan panduan berupa aturan yang ramah kepada industri, nyaman bagi masyarakat dan menjadi sumber pendapatan yang baik bagi negara. Wacana-wacana tentang aturan konsolidasi, baik yang berupa akuisisi (pencaplokan) maupun merger (penggabungan) yang pernah muncul, masih jauh dari keinginan pelaku usaha.
Misalnya wacana tentang “pengandangan” sebagian freksuensi bagi operator yang berkonsolidasi, padahal kepemilikan frekuensi menjadi tujuan utama operator berkonsolidasi. Operator yang sangat ingin berkonsolidasi, mencaplok operator lain, kecewa dengan adanya wacana yang dihembuskan pemerintah yang ujungnya membuat upaya mengefisienkan industri pun mengambang lagi.
Padahal operator sepakat bahwa konsolidasi akan menyehatkan industri. Seorang petinggi satu operator mengatakan keyakinannya, mereka yang berhasil melakukan konsolidasi akan membuat operator yang tertinggal menjadi tidak berkutik. Makanya semua operator, kecuali Telkomsel, dalam keadaan rugi atau menangguk untung, berlomba ingin mengakuisisi agar bisa tetap eksis di industri yang sangat tajam persaingannya ini.
Sulit bagi Telkomsel
Operator yang nyata-nyata ingin mengakuisisi operator lain dalam rangka konsolidasi adalah Indosat, XL Axiata dan Tri. Namun belum jelas siapa mengakuisisi siapa, semua ingin bertindak sebagai pembeli dan Tri sudah mengungkapkan kemampuan finansial yang didukung induknya, Hutchison dari Hongkong, berupa dana sekitar Rp 48 triliun.
Konsolidasi membawa efek yang panjang, tidak mudah, berbiaya tinggi, berdampak besar pada sumber daya manusia yang terancam PHK sepe rti yang terjadi ketika XL Axiata mengakuisisi Axis dekade lalu. Saat ini dengan enam operator, seorang ahli yang diberhentikan satu operator boleh berharap ditampung oleh operator lain.
Pada zaman akusisi Axis, semua karyawannya bisa ditampung oleh XL Axiata, tentu dengan standar kecakapan yang ditetapkan manajemen XL Axiata. Namun saat ini hanya beberapa saja mantan Axis yang masih bekerja di XL Axiata.
Kalau saja Telkomsel “boleh” ikut program konsolidasi, ia pasti akan melibas operator lain dan memasukkan mereka ke anak perusahaan PT Telkom itu. Bukan hal mustahil, namun Telkomsel yang merupakan pengisi kocek PT Telkom paling utama yang akhirnya menjadi sumber setoran berupa dividen dan pajak yang terbesar kepada negara dibanding semua operator.
Dan, negara tidak akan mau kehilangan pendapatan sementara proses yang mempengaruhi arus uang (cash flow) negatif akan berjalan setidaknya dalam dua tahun. Selain sebagai operator terbesar Telkomsel berpotensi terancam melanggar UU Persaingan Usaha yang tidak sehat.
Telkomsel tidak butuh akuisisi atau merger untuk memperkuat posisinya karena jumlah pelanggannya sudah sekitar 180 juta, jumlah yang belum tentu bisa tersaingi jika empat operator sisanya bergabung jadi satu. Dengan pelanggan masing-masing: Indosat (57 juta), XL Axiata (58 juta), Tri (48 juta) dan Smartfren (20 juta), jumlah bersih pelanggan jika terjadi penggabungan hanyalah sekitar 140 juta.
Akan terjadi pengurangan pemilikan multi kartu SIM. Pelanggan yang tadinya punya dua-tiga kartu SIM dari empat operator itu, pasca konsolidasi hanya perlu satu atau dua kartu SIM utama saja, sisanya hangus.
Dikuasai Penyiaran
Konsolidasi selain berkesempatan operator mengefisienkan jumlah karyawan yang terlalu banyak untuk satu jenis pekerjaan, juga bisa berhemat dalam capex, capital expenditure, biaya modal karena menara dan BTS bisa ditata ulang dan kelebihannya bisa digunakan untuk perluasan jaringan tanpa menambah modal.
Konsolidasi juga menjadi lebih sehat ketika bisnis ritel menjadi segar dengan adanya aturan validasi IMEI. Selama ini sekitar 20 persen ponsel yang dijual di pasar merupakan ponsel selundupan, terutama iPhone dan Xiami.
Ke depan hanya ponsel yang IMEI-nya didaftarkan importir yang bisa dioperasikan, karena ponsel ilegal langsung ditolak sistem baik yang ada di operator maupun yang ada di Kementerian Perindustrian. Ketentuan tentang validasi IMEI akan berlaku ketat pada April mendatang.
Meskipun jumlah ponsel BM (black market) sudah jauh berkurang, namun toleransi bagi ponsel ilegal masih berlanjut hingga awal April itu. Jendela waktu sekitar tiga bulan di tahun 2020 masih dimanfaatkan juga oleh importir BM, apalagi masih ada keyakinan di kalangan mereka bahwa batas April akan diperpanjang lagi.
Soal penggelaran jaringan 5G, pemerintah masih perlu melakukan banyak hal, antara lain menetapkan harga spektrum, yang tiap operator bisa membeli pita selebar 500 MHz hingga 1.000 MHz di rentang milimeter band, yang pastinya tidak murah. Pita selebar 30 MHz di spektrrum 2300 MHz saja harganya Rp 1 triliun lebih.
Paling penting juga, pemerintah harus tegas dalam mengambil kembali spektrum sangat lebar di 700 MHz yang selama ini dikuasai industri penyiaran. Berpindahnya mereka dari siaran analog ke digital memungkinkan seluler dapat “bagian” sekitar 112 MHz yang akan berarti banyak bagi operator untuk mengembangkan layanan 5G, dan berpotensi memasukkan dana triliunan rupiah ke negara lewat PNBP (penerimaan negara bukan pajak).
Industri penyiaran lewat pemilik beberapa stasiun televisi keukeuh mempertahankan spektrum itu, padahal dari PNBP-nya, negara hanya menerima belasan miliar rupiah. Ini jadi salah satu tantangan berat pemerintah lewat Menkominfo Johnny G Plate, yang kelihatannya belum sempat membahas masalah ini.
Maklum, ini ilmu yang baru di samping iming-iming yang besar. ***