SATU satelit milik Indonesia lagi mengalami kelainan (anomali) dalam proses peluncurannya, Kamis (9/4) malam dari stasiun kawasan pusat peluncuran satelit Xichang, Provinsi Sinchuan, Tiongkok. Satelit Palapa Nusantara Dua yang dibeli dengan haga 200 juta dollar AS di tahun 2017 itu jatuh dan hancur saat diluncurkan dengan menggunakan roket Long March 3B, ketika tingkat 3 roket pendorong itu gagal berfungsi pada pukul 19.46 waktu setempat.
Satelit dengan teknologi terbaru, HTS (high throughput satellite) ini milik PT Palapa Satelit Nusa Sejahtera, perusahaan patungan antara PT PSN (Pasifik Satelit Nusantara), PT Indosat Ooredoo dan PT Pintar Nusantara Sejahtera. Satelit yang dirancang untuk menggantikan Satelit Palapa D yang segera habis usia teknisnya tahun 2020 ini dibuat oleh pabrik satelit Tiongkok, China Great Wall Industry Corporation (CGWIC) sejak tahun 2017.
Walaupun diasuransikan seperti keterangan Dirut PT PSNS, Johanes Indri Trijatmojo, Kamis malam, tetap saja musibahnya membuat kerepotan sebab beban Palapa D harus dipindahkan ke satelit lain yang beroperasi. Untuk membangun satelit baru diperlukan waktu sedikitnya dua tahun sampai bisa diluncurkan.
Anomali ini memang bukan yang pertama di dunia, juga bukan yang pertama di Indonesia. Pada 3 Februari 1984, satelit Palapa B2 buatan Hughes milik Perumtel (PT Telkom) yang menggunakan wahana pesawat ruang angkasa ulang-alik Challenger F4 gagal mencapai orbit di geostasioner, namun berhasil diambil oleh wahana STS-51A pada November tahun yang sama.
Satelit pengganti, Palapa B2P diluncurkan tiga tahun kemudian, berganti pemilik menjadi milik PT Satelindo, kemudian ketika usianya habis diganti tempatnya oleh Satelit Palapa C1. Sementara bekas satelit B2 yang diperbaiki oleh Sattel Technologies, diluncurkan lagi dengan nama Palapa B2R pada April 1990, milik Perumtel, dari Kennedy Space Center, Cape Canaveral, AS.
Antena sederhana
Nasib satelit Palapa C1 milik PT Satelindo tidak sebagus satelit B2R, karena sama dengan satelit B2, ia juga gagal mengorbit. Satelit buatan Hughes yang diluncurkan dari Kennedy Space Center pada 31 Januari 1996 dan digendong roket Atlas -2AS itu juga tidak sampai ke orbit geostasioner. Ia diambil kembali dan dimiliki Hughes dengan nama HGS3 dan menjadi satelit Anatolia 1, disewa Pakistan dengan nama satelit Paksat1.
Satelit Palapa Nusantara Dua menggendong teknologi baru yang memiliki kapasitas unggah dan unduh sampai 12 giga per detik (gbps). Ia direncanakan akan ditaruh di orbit stasioner di posisi 113 derajat bujur timur di ketinggian 36.500 kilometer di atas kota Pontianak.
Beda dengan satelit konvensional, kemampuan satelit HTS tidak diukur dari cakupan (foot print) melainkan dari kemampuan throughput-nya, kuat di free-to-air, direct to home (DTH), layanan broadcast langsung ke rumah. Semua bisa didapat dengan antena sederhana, tidak usah dengan antena parabola yang besar.
Mengoptimalkan kemampuannya, satelit HTS ini memiliki titik berkas (beam spot) sebanyak sembilan untuk kawasan Nusantara sementara cakupannya, footprint mencapai ASEAN sampai Timur Tengah. Beam tadi sama seperti sel dalam layanan seluler yang bisa saja tumpang tindih dengan frekuensi yang bisa digunakan kembali (re-use) untuk sel-sel yang berselang-seling tidak berdekatan.
Ketika satelit konvensional menonjolkan kemampuan dari jumlah transponder yang dimiliki, satelit HTS dinilai dari lebar pita (bandwidth) yang ditransmisikan dan untuk transmisi sebesar 512 kbps, satelit konvensional butuh lebar pita sampai satu megahertz (MHz). Jadi untuk satelit dengan 36 MHz bisa didapat kapasitas 18 mbps dan dengan teknologi C-in-C, bandwidth bisa lebih hemat.
Kini kehebatan dan kemampuan satelit HTS Palapa Nusantara Dua tinggallah kenangan. Satelit Palapa D yang sebenarnya akan digantikan karena sebentar lagi habis masa usia teknisnya akan dibuang ke angkasa lebih tinggi lagi, melanglang langit entah sampai kapan.***