sinyal.co.id
TELEKOMUNIKASI merupakan industri yang padat modal, sehingga segala sesuatu yang menyangkut investasi haruslah terencana dengan baik sejak awal. Tanpa itu operator tidak bisa efisien bekerja sehingga kurang mampu bersaing.
Dalam satu setengah tahun terakhir ini telekomunikasi boleh dikatakan tumbuh dengan baik, walau persaingan terasa tetap makin tajam. Iklim industri membaik dengan kebijakan pemerintah yang acap disesuaikan dengan kebutuhan industri lewat perbaikan berbagai peraturan atau membuat aturan baru.
Konsolidasi, kerja sama (sharing) antar operator dan pengaturan aktivasi kartu perdana, merupakan sebagian dari berbagai upaya efisiensi yang ditawarkan dan diwajibkan pemerintah terhadap pelaku industri. Kewajiban registrasi yang terkendali akan membuat banyak perubahan, tidak hanya pada industri itu sendiri tetapi juga kenyamanan bagi pelanggan serta pengurangan aksi-aksi kiriminal.
Kini calon pelanggan tidak bisa mengaktifkan sendiri kartu perdana yang baru dibelinya, tanpa otorisasi dari operator lewat jaringan distribusi yang terdaftar. Selain wacana tentang harga kartu perdana yang tidak akan berharga murah lagi – antara lain karena sudah ada paket datanya – kebijakan registrasi tadi akan mengurangi jumlah perdana yang harus digelontor oleh operator.
Selama ini untuk mendapat satu juta pelanggan baru, operator harus menggelontorkan lebih dari 10 juta kartu perdana, sembilan juta di antaranya hangus saat pulsa perdananya habis. Jika total industri dalam setahun mendapat tambahan 10 juta pelanggan baru dan satu kartu perdana harganya tiga ribu rupiah saja, kebijakan registrasi ini menghemat sampai Rp270 miliar.
Di saat pendapatan operator dari layanan suara dan pesan singkat (SMS) makin menurun, operator pun harus gencar memasarkan layanan datanya. Baik lewat GSM generasi ketiga (3G), terutama pita lebar generasi keempat (4G) LTE (Long Term Evolution) yang kecepatan unduhnya bisa lebih dari 105 Mbps.
Layanan data makin diminati pelanggan yang akan makin mengurangi percakapan dan SMS, karena semua bisa dilakukan lewat data, misalnya WA (WhatsApp), atau Line yang dirasakan sebagai “gratis”. Pengalaman pelanggan mengunduh YouTube, misalnya, atau sharing video, menjadi pemicu makin tingginya penggunaan data oleh pelanggan. Ini berdampak pada kewajiban operator untuk selalu meningkatkan layanan datanya yang berarti biaya modalnya harus selalu bertambah.
Konsolidasi kini menjadi wacana yang selalu dihembuskan pemerintah lewat Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Contoh yang sudah terjadi, Axis diakuisisi oleh XL Axiata, selain ada operator yang (pasti) menuju kematiannya secara alamiah, Bakrie Telecom (BTel), dan tidak akan bertahannya operator yang hanya punya pelanggan aktif di bawah lima juta orang.
Kematian operator kecil merupakan satu keniscayaan karena kemampuan memenuhi tuntutan pelanggan tidak dapat mereka lakukan dibanding tiga operator besar, Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata. Bukan berarti yang kecil akan dijual atau diakuisisi operator besar, sebab kecenderungan yang terjadi saat ini justru ada kerja sama erat antara operator besar, Indosat Ooredoo dan XL Axiata yang menurut beberapa pengamat mungkin mengarah ke merger atau akuisisi.
Kerja sama pertama adalah sharing menara (sharing pasif), menggunakan menara yang sama untuk menaruh BTS (Base Transceiver Station) yang disebut MORAN (Mobile Operator Radio Access Network) dan akan mengarah ke MOCN (mobile operator core network). MORAN kedua operator ada di Banjarmasin, Batam, Purwokerto, dan Solo.
Juga kerja sama keduanya membentuk perusahaan patungan, The One Indonesia Synergie dengan komposisi saham 50:50, dengan fokus kerja sama jaringan. Ke depan patungan ini tidak hanya antara kedua operator tadi, tetapi juga bisa bertambah dengan operator lain.
Rumor yang terembus di dunia telekomunikasi kini justru akan diakuisisinya PT Hutchison Tri Indonesia (Tri) oleh PT Indosat, yang dengan sigap dibantah manajemen Tri. Walau manajemen puncak Indosat mengakui ada upaya itu, hanya saja terganjal harga tinggi yang dipasang oleh Tri, sementara basis pelanggan Tri dipercaya sebenarnya jauh lebih rendah dibanding jumlah pelanggan yang diumumkan, 57 juta.
Kerja sama infrastruktur pasif yang sudah dimulai oleh XL-Indosat sebenarnya diharapkan akan segera beranjak ke kerja sama aktif, berupa penggunaan frekuensi bersama antar keduanya. Kerja sama semacam ini dihitung akan menghemat pengeluaran operator hingga separuhnya, Rp6,6 triliun per tahun, yang terdiri dari belanja modal (capex – Capital Expenditure) Rp5,2 triliun dan belanja operasional (opex – Operational Expenditure) sebesar Rp1,4 triliun.
Kerja sama aktif infrastruktur yang dikenal dengan nama MOCN sudah didorong oleh Kementerian Kominfo sejak akhir tahun 2015, dan dijanjikan segera akan akan ada payung hukumnya sebagai pengganti Peraturan Pemerintah (PP) 52/2000 dan PP 53/2000. Namun kedua operator ini agak kecewa, sebab hingga menjelang tengah tahun ini, PP yang diharapkan tidak juga terbit.
Kekecewaan ini terungkap dalam temu media dengan manajemen XL Axiata di Yogyakarta pekan lalu, yang dikatakan upaya efisiensi belum terjadi sesuai yang diharapkan akibat molornya PP tentang Infrastruktur Sharing Aktif (MOCN). “Ada korelasi langsung antara penundaan terbitnya PP dengan anggaran yang harus dikeluarkan,” ujar Yessie D Yosetya, Direktur dan Chief Service Management PT XL Axiata.
Tahun ini kedua operator berencana menggelontorkan capex masing-masing sekitaran Rp7 triliun, yang tampaknya sebagian besar masih bisa menjadi jatah vendor infrastruktur, antara lain Ericsson dan Huawei. Diyakini kedua vendor ini akan menurun pendapatannya jika PP pengganti tadi terbit, karena pesanan BTS, misalnya, akan berkurang sampai separuhnya.
Moch. S. Hendrowijono