Industri telekomunikasi di Tanah Air, sekalipun menampakkan wajah optimis dengan tumbuh berkembangnya layanan FMC (fixed mobile convergency – paduan layanan telepon kabel dan seluler), kenaikan jenjang ke layanan 5G, masih abu-abu. Belum ada niat pemerintah yang pasti untuk membukan spektrum yang mutlak dibutuhkan untuk layanan 5G.
Sebagaimana diketahui, layanan 5G bukanlah kelanjutan dari layanan 4G, yang tumbuh sambung menyambung dari 1G, 2G, 3G, 4G dan 4G LTE. Teknologi dan layanannya sangat berbeda, apalagi nanti jika layanan 6G diterapkan, yang membutuhkan dukungan satelit.
Kedua layanan terakhir ini membutuhkan spektrum frekuensi yang sangat berbeda, milimeterband, kecepatan yang tinggi, investasi yang besar sehingga tarif layanannya bisa 10X lebih mahal dibanding 4G. Walaupun untuk salah satu layanan 5G, Internet of Things (IoT) bisa menggunakan spektrum yang umum digunakan untuk 4G LTE.
Layanan generasi kelima ini, karenanya, butuh frekuensi tinggi yang kapasitasnya sangat besar untuk satu lingkup kawasan, misalnya di rentang spektrum 3,5 GHz, 26 GHz, 35 GHz dan 40 GHz. Namun sesuai sifatnya, spektrum tinggi cakupannya sangat sempit, antara 200 meter hingga 300 meter, jauh lebih sempit dibanding layanan spektrum 4G yang bisa sampai 5km.
Untuk memberi layanan di di satu kawasan seluas 5 kilometer persegi, oleh 4G LTE hanya dibutuhkan minimal satu BTS (base transceiver station), tetapi di 5G dengan gelombang mikro milimeter itu, dibutuhkan ratusan BTS. Dengan kemampuan ini, cakupan BTS 5G pada satu kawasan yang luasnya sama, jumlah pelanggan yang dilayani bisa ribuan kali lebih banyak.
Layanan 5G menarik untuk digelar, yang diperkirakan belanja modal (capex – capital expenditure) dan biaya operasinya bisa tertutup dari pendapatannya. Bisa dicontoh bagaimana India dan China sukses menggelar layan 5G sejak lima tahun lalu dengan pelanggan yang mencapai ratusan juta.
Masalahnya, berapa besar pemerintah menjual spektrum 5G itu jika operator harus memenanginya?
Siapa yang mampu?
Secara teknologi, untuk memberi layanan 5G, operatior harus memiliki spektrum sedikitnya selebar 100 MHz. Kalau tidak, seperti halnya sekarang ketika layanan 5G menggunakan spektrum milik 4G, yang muncul adalah 5G rasa 4G.
Kebutuhan akan spektrum bisa terpenuhi jika frekuensi milimeter tadi yang masing-masing menyediakan pota selebar 1.000 MHz, sudah digelar. Masalahnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan operator jika mereka harus membeli sedikitnya 100 MHz?
Tengok saja, dari lelang terakhir yang digelar pemerintah untuk 30 MHz di teknologi FDD (frequency division duplex) yang dimenangkan Telkomsel Rp 1 triliun lebih. Lalu berapa kalau 100 MHz saja untuk FDD apalagi untuk TDD (time division duplex) yang perlu frekuensi ganda berpasangan?
Mampukah operator membeli pita selebar 100 MHz itu lebih dari 3 triliun rupiah? Mungkin hanya Telkomsel yang mampu.
Selama ini pemerintah merilis lebar frekuensi baru dengan cara lelang, sementara pada beberapa dekade lalu ada juga cara diberikan begitu saja atau cara kontes kecantikan. Cara terakhir ini memberikan spektrum selebar tertentu sesuai perfomansi masing-masing operator.
Operator sejak lama sudah menyuarakan harapan agar harga frekuensi tidak semahal untuk layanan 3G atau 4G, namun pemerintah belum pernah menanggapi langsung dan, masalahnya berlarut tanpa kejelasan.
Semurah mungkin
Direktur Jenderal SDPPI (Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika) Kementerian Kominfo, Ismail, dalam satu forum mengaku, pemerintah punya niat baik dengan mencoba melakukan layanan kepada operator dan masyarakat sebaik mungkin. “Menetapkan lelang dengan semurah mungkin”.
Masalahnya, pelepasan frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas itu menjadi sasaran utama pemenuhan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) bagi Kementerian Komindo yang ditarget Kementerian Keuangan, yang tahun ini sebesar Rp 25,7 triliun. Jumlahnya harus lebih besar dari tahun sebelumnya, dan Kominfo akan mendapat sebagiannya untuk operasional.
Tiongkok negara kaya, juga ketiga operatornya, sehingga mereka bisa saja membeli berapa pun lebar frekuensi yang dijual pemerintah. Baik pemerintah China maupun India, ketika merilis layanan 5G memberi kemudahan kepada operator dengan menunda pembayaran frekuensinya.
Caranya dengan pola seperti halnya pemberian bebas pajak sementara (tax holiday). Kebijakan itu bisa ditiru Indonesia, yang harga frekuensi akan ditagihkan ketika operator sudah mendapat untung dari gelaran 5G.
Namun masalahnya, pemberian fasilitas tax holiday tidak bisa dilakukan oleh Kementerian Kominfo, harus ada persetujuan Kementerian Keuangan dan harus ada aturan perundangan sebagai payung hukumnya.
Hingga saat ini belum pernah ada upaya, pendekatan, lobi atau pembicaraan antara Kominfo dan Kementerian Keuangan soal ini. Perlu keberanian, sebab Kementerian Keuangan sangat alergi terhadap kemungkinan berkurangnya pendapatan yang akan digunakan untuk operasional negara. ***