Sinyal Rate: 7,5 dari 10
Genre: Dokumenter
Narasumber: Andy Pasztor, Peter DeFazio, Garima Sethi, John Barnett
WWW.SINYALMAGZ.COM – Nama Boeing selama puluhan tahun identik dengan keselamatan dan keamanan penerbangan. Sampai-sampai muncul jargon, “Kalau tidak naik Boeing, kami tak mau terbang.”
Boeing adalah simbol nasional Amerika tentang teknologi penerbangan yang mutakhir. Namun di balik kejayaan itu, tersembunyi sebuah rahasia yang justru disimpan rapat oleh para eksekutifnya sendiri.
Proyek pesawat baru Boeing 737 Max adalah pintu dari begitu banyak masalah yang tengah dihadapi oleh perusahaan yang semula bermarkas di Seattle Amerika itu. Awal mendung Boeing sudah dirasakan ketika melakukan merger dengan McDonnel Douglas pada 1997.
Seharusnya orang-orang Boeing lah yang menduduki posisi atas. Tetapi justru McDonnel yang terplih, sehingga menimbulkan keiriian. Bahkan sampai kantor pusat pun dipindahkan ke Chicago dianggap agar lebih netral.
Awan tebal lainnya adalah soal menuruannya keuntungan akibat tak adanya inovasi dan produk baru. Sementara Airbus amat agresif, memiliki jagoan baru Airbus A380 Neo. Dan, menghasilkan pendapatan yang jauh di atas Boeing.
Neo sangat inovatif dalam hal bahan bakar. Max sebenarnya mengikuti jejak Neo. Namun tidak sepenuhnya produk benar-benar baru. Konsep dasarnya memilih 737 yang di kalangan dalam Boeing sendiri juga menjadi pertanyaan besar. Kemudian ditambahkan beberapa fitur salah satunya –yang benar-benar baru- adalah MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System). Inovasi ini muncul guna menjaga kestabilan pesawat.
Sebagai konsekuensi pemakaian MCAS, maka pihak produsen pesawat diharuskan membuka simulasi bagi calon pilot 737 Max. Tentu saja akibatnya harus keluar biaya lagi di tengah kondisi keuangan Boeing yang seret.
Konflik internal inilah yang oleh sutradara kenamaan film dokumenter, Rory Kennedy diungkap lewat film Downfall: The Case Against Boeing. Putri Robert f. Kennedy (saudara JFK) ini menguak satu-persatu dari berbagai sisi. Film ini eksklusif di Netflix.
Tentu saja momentum terbesar gagasan film ini adalah tragedi jatuhnya dua Boeing 737 Max dalam tempo tak sampai enam bulan. Pertama Lion Air JT610, disusul Eithopian Airline 302.
Rory melibatkan banyak sekali narasumber. Mulai jurnalis The Wallstreet Journal (WSJ) Andy Pasztor yang penasaran dan melakukan jusnalistik investigasinya. Lalu, Garima Sethi, istri kapten Bhavye Suneja, pilot pesawat Lion Air JT 610 yang cerita banyak karakter mendiang suaminya.
John Barnett, mantan karyawan Boeing yang dianggap tahu benar persoalan internal dan perjalanan proyek 737 Max. Bahkan proses yuridis kasus Boeing dituturkan secara rinci oleh Peter DeFazio, senator Amerika. Masih ada lagi ahli penerbangan serta pilot Amerika.
Downhall, bisa dipersepsikan dari berbagai sisi. Jika Anda memotret sisi korporasi, akan tampak bagaimana Boeing dilihat sebagai aset negara dan mereka mati-matian membela, meskipun fakta menunjukkan ada kesalahan dan rahasia yang disimpan.
Dari sisi politik, tampak benar ketidaktegasan presiden Amerika Donald Trump menghadapi Boeing yang sarat masalah. Bahkan China mendahului keputusan menghentikan pengoperasian 737 Max. Keputusan yang membuat banyak negara mengikuti langkah seterus Amerika ini.
Sisi kemanusiaan juga diangkat oleh Kennedy. Dalam hal ini khususnya tentang penderitaan keluarga 346 korban tewas, yang seharusnya tak pernah terjadi. Bahkan dalam rapat senat Amerika, angle keluarga korban ditampilkan secara telak setelah Dennis Muilenburg tak memperlihatkan niat berempati.
Kennedy juga mengaduk-aduk persoalan konflik internal Boeing. Bahwa teknologi MCAS mendapat respon pro dan kontra, tetapi toh manajemen tak bergeming. Bahkan lalu menutupi, menolak perlunya simulasi oleh pilot (soal ini kabarnya Lion Air sudah meminta ke Boeing saat proses pengadaan pesawat berlangsung).
Fakta-fakta tersebut diperkuat oleh kesaksian Barnett. Ditambah dengan kedalaman teknis yang diutarakan oleh para pakar penerbangan, pilot dan sumber lainnya.
Pada ujungnya Boeing dianggap salah dan didakwa denda. Perusahaan ini harus membayar 2,5 miliar dolar. Denda ini untuk membayar; denda pidana sebesar 243,6 juta dolar, pembayaran kompensasi kepada pelanggan maskapai Boeing 737 MAX sebesar 1,77 miliar dolar, dan penetapan kecelakaan 500 juta dolar.
Yang terakhir ini dibayarkan kepada penerima dana untuk kompensasi ahli waris, kerabat, dan ahli waris dari 346 penumpang yang meninggal dalam kecelakaan Lion Air JT610 dan Ethiopian Airlines 302.
Tak hanya itu ongkos dolar yang harus dikeluarkan Boeing. Sang CEO, Muilenberg kemudian diberhentikan dengan pesangon 62,2 juta dolar.
Lalu, bagaimana respon Boeing yang tak bersedia menjadi narasumber film ini? Di akhir film terungkap, dan bahkan kemudian tetap menyalahkan pihak tertentu. (*)