WWW.SINYALMAGZ.COM – Jika mau jujur sulit operator manapun bersaing dengan Telkomsel yang menguasai pasar dengan lebih dari 170 juta penggunanya di Indonesia. Dengan hampir seluruh operator hanya memiliki pelanggan di bawah 70 juta alias tak sampai setengah dari operator plat merah itu, sebenarnya iklim persaingan tidak sehat.
Tidak ada jalan keluar atau solusi jika operator tidak berkolaborasi. Ini adalah keniscayaan bisnis untuk mengurangi gap pelanggan yang merupakan sumber daya bisnis operator.
Maka, ketika ada inisiatif dari Ooredoo dan Hutchison untuk melakukan konsolidasi sesungguhnya langkah ini adalah perwujudan dari keinginan pemerintah itu sendiri. Pemerintah sejatinya sejak lama sudah menginginkan terjadinya merger dua atau lebih operator. Dalam perspektif pemerintah tentu lebih kepada optimalisasi jaringan dalam hal ini pemakaian ruang frekuensi yang merupakan sumber daya alam milik negara, memberi kepastian iklim usaha yang kompetitif dan paluang percepatan up grade teknologi agar merata serta mengikuti teknologi trbaru yang menjadi tren dunia. Pada ujungnya ketiga faktor ini memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat yang oleh undang-undang diamanatkan sebagai pihak yang paling sah sebagai penerima kegunaan teknologi telekomunikasi.
Dalam berbagai persepktif para ahli yang hadir dalam sejumlah diskusi yang digelar oleh Indonesia Technology Forum (ITF) sepakat upaya aksi merger adalah paling masuk akal. Kamilov Sagala SH, MH, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi bilang, bahwa konsolidasi bukan hal baru di industri telekomunikasi yang perkembangannya sangat cepat. “Bukan hitungan tahun lagi, tapi bulan,” ujarnya.
Di Malaysia dan India sudah terjadi. Di China bahkan operator hanya ada tiga dan saling bersaing meski China Mobile paling unggul. Tetapi China Telecom dan China Unicom masing-masing punya pelanggan dua kali lipat Telkomsel.
Maka Kamilov menyeru, “Hadirnya merger bisa memaksimalkan frekuensi yang tersedia saat ini. Idealnya cukup 3—4 operator saja yang bermain sehingga tercipta iklim kompetisi yang lebih baik.”
Merger Indosat dengan Tri adalah keputusan tepat. Jika Indosat dibeli kembali (buyback) oleh pemerintah, malah akan menimbulkan risiko korporasi yang jauh lebih tinggi baik secara investasi maupun tata kelola. Membeli kembali perusahaan tidak semudah membeli barang. Apalagi jika pemilik kuat Indosat sendiri tidak pernah berencana menjual asetnya. Lalu, mengapa kita berpikir jauh dari fakta?
Lantas apakah pemerintah mengalami kerugian bila Indosat berkonsolidasi dengan Tri?
Malah sebaliknya mengalami keuntungan. Pemerintah tidak perlu ikut campur, apalagi harus andil mengelola, toh juga tidak ada yang perlu dicampuri oleh pemerintah. Kecuali proses evaluasi yang merupakan tanggungjawab Kominfo.
Besarnya saham pemerintah memang menurun dari 14,3 persen menjadi 9,6 persen. Mengapa turun, tentu saja karena telah terjadi perubahan akibat proses merger ini. Dulu hanya Indosat Ooredoo, Pemerintah dan publik. Sekarang bertambah satu lagi Hutchison Tri Indonesia. Jadi wajar jika pembagian saham berubah.
Apalah artinya besarnya saham jika nilai transkasi merger kecil. Berbeda dengan merger Indosat dan Tri ini yang nilainya mencapai kira-kira Rp 85,6 triliun alias transaksi terbesar dalam proses merger selama ini. Maka, nominal yang diterima pemerintah jauh lebih besar bila dibandingkan nominal dengan nilai saham 14,3 persen.
Jadi tidak perlu khawatir bahwa pendapatan negara mengecil dari proses merger ini. Dan sebaliknya, malah jauh lebih besar. Dalam situasi negara membutuhkan tambahan pendapatan, proses merger yang dibuahkan oleh Ooredoo Q.P.S.C. dan CK Hutchison Holdings Limited adalah suntikan dana segar.
Indosat Ooredoo Hutchison, nama perusahan baru yang akan mulai running pada Desember 2021 atau Januari 2022, bakal dioperasikan oleh dua kekuatan yang masing-masing telah memiliki karakter. Kemudian tata kelola frekuensi dan optimalisasi jaringan yang mereka lakukan sejauh ini sangat baik.
Dr. Ir. Ian Joseph Matheus Edward, Dosen ITB sekaligus Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia-ITB (PIKERTI-ITB), punya data menarik. Pakar teknologi telekomunikasi ini memperlihatkan rapor performa jaringan Indosat dan Tri yang secara keseluruhan berada di bawah Telkomsel.
Kamilov menyebut Tri yang punya pelanggan anak muda dan mahasiswa loyalis. Ia bilang, “Tri hadir di 13 kota yang pertumbuhannya bahkan melebihi operator lain.”
Dengan modal performa baik seperti ini, pemerintah sebenarnya tak perlu repot untuk melakukan evaluasi. Ada empat hal yang akan dilakukan evaluasi oleh pemerintah, antara lain efisiensi biaya pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang mengunakan spektrum. Untuk hal ini kedua operator sudah pasti menempatkan efisiensi biaya demi menjalankan roda operasinya.
Kedua, perluasan cakupan wilayah. Indosat dan Tri memang masih sangat fokus di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sedikit di Indonesia Timur. Tetapi menurut Ian, justru merger membuat peluang untuk perluasan dan relokasi semakin besar. Hal ini memungkinkan tumbuhnya jaringan baru oleh operator baru yang selama ini hanya diisi oleh satu operator saja.
Ketiga, evaluasi soal peningkatan kualitas layanan. Konsolidasi memacu operator membenahi dan meningkatkan mutu servisnya. Faktor Quality of Services (QoS), menurut Kamilov justru akan jadi senjata utama untuk memenangkan persaingan. “Jika layanannya ditingkatkan akan menghasilkan pelanggan yang setia,” tambahnya.
Keempat, harga layanan yang lebih terjangkau bagi masyarakat. Soal ini sudah jelas, Indosat dan Tri sama-sama menawarkan harga yang terjangkau. Merger malah akan membuat mereka mengemas tarif paling kompetitif berdasarkan pengalaman membuat skema tarif yang dilakukan selama ini. Seperti kita tahu, masih ada yang memasang tarif lebih mahal selain kedua operator ini lantaran konsumen tak punya pilihan.
Lantas bagaimana operasional operator dengan nama baru ini kelak?
Di pucuk pimpinan pembagiannya sudah jelas. Sebagai CEO ditunjuk orang Indosat, yaitu Vikram Sinha yang kenyang pengalaman di Bharti Airtel India. Sementara CFO diambil dari Tri yaitu Nicky Lee. Duet inilah yang akan mengorkestrasi perjalanan Indosat Ooredoo Hutchison.
Peran eksekutif menjadi sangat penting. Seperti halnya di banyak perusahaan dari tangan mereka strategi berjalan dan target tercapai. Pemegang saham dan komisaris cukup lah mengikuti laju roda organisasi, jika berdampak baik kepada pelanggan dan perusahaan, ini lah buah dari proses merger ini.
Jadi, ini saatnya konsolidasi yang tak perlu dipolitisasi. Kata Kamilov saat ini merupakan momentum yang tepat bagi operator untuk saling konsolidasi. Terlebih payung hukumnya sudah ada lewat UU No. 11/2020 Cipta Kerja dan PP No.46 tahun 2021 terkait Postelsiar sangat mendukung kebutuhan industri telekomunikasi yang bergerak sangat cepat.
Jangan lagi mengulur-ulur dengan pandangan tanpa dukungan data dan fakta. (*)