Telkomsel, operator seluler unggulan Indonesia baru saja menyelesaikan uji laik operasi (ULO) untuk mendapat izin mengoperasikan layanan seluler generasi kelima (5G), setelah proses selama tiga hari, 19 Mei hingga 21 Mei 2021. Selain Telkomsel, Indosat Ooredoo juga mengajukan ULO untuk membuka layanan 5G, namun menurut Menkominfo Johnny G Plate, sampai akhir pekan lalu dia belum menerima berkas ajuan itu.
Telkomsel boleh dikata sempurna sementara ini untuk menjalankan layanan 5G, karena operator anak perusahaan PT Telkom itu memiliki frekuensi yang mendekati milimeter band, di 2,3 GHz selebar 50 MHz. Sementara secara teknis, untuk menjalankan layanan 5G perlu sedikitnya 40 MHz.
Dan, Indosat cukup nekat untuk meraih predikat operator 5G padahal dari spektrum selebar 45 MHz miliknya, tidak ada yang masuk golongan milimeter band. Mereka hanya punya frekuensi di spektrum 850 MHz, 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz.
XL Axiata, yang juga hanya punya spektrum frekuensi di rentang 900 MHz, 1800 MHz dan 2,1 GHz pernah menyatakan keinginan mengoperasikan 5G dengan memanfaatkan semua frekuensi yang mereka punya. Namun akhirnya upaya itu tidak dilanjutkan karena hasilnya, baik dengan cara menggunakan masing-masing spektrum atau menggabungkannya (CA – carrier aggregation) malah tidak sebagus yang diharapkan.
Tampaknya memang Telkomsel yang akan menjadi operator 5G pertama di Indonesia, yang setelah lulus ULO, mereka akan melakukan penataan kembali (refarming). Ini dimaksudkan agar frekuensi-frekuensi (2300 MHz) yang mereka miliki berjajar berurutan (contiguous) untuk mendapat hasil maksimal.
Salah satu syarat mengoperasikan 5G, pemilikan spektrum antara 6 GHz hingga 300 GHz, dan sebetulnya posisi 2,3 GHz “abu-abu”, sehingga ekosistemnya pun yang berupa ponsel, dan radio BTS jarang didapat di pasar. Namun dengan pelanggan 170 juta, siapa vendor yang tidak mau membangun ekosistemnya khusus untuk Telkomsel, dan mungkin sebentar lagi Smartfren yang punya 40 MHz di spektrum 2300 MHz, dengan pelanggan 25 jutaan?
Dukungan ekosistem
Di dunia, penggunaan spektrum 2300 MHz untuk 5G baru dilakukan oleh 12 operator, termasuk Korea Selatan. Yang terjadi, antara lain di Korea Seatan, pelanggan tidak terlalu puas karena layanan 5G yang mereka gunakan tidak optimal akibat ekosistem berupa jumlah perangkat seluler yang mendukung hanya 50.
Sementara dunia umumnya menggunakan spektrum 26 GHz dan 35 GHz, yang didukung oleh masing-masing 269 perangkat (ponsel/gawai) dan 299 perangkat. Di Indonesia, izin penggunaan spektrum 26 GHz dan 35 GHz itu belum dikeluarkan oleh Kementerian Kominfo.
Namun seberapa jauh kepentingan industri, juga masyarakat untuk mengadopsi teknologi 5G yang di banyak negara, misalnya Korea Selatan, sudah berjalan baik? Apakah masyarakat “wajib” menunggu datangnya layanan itu seperti ketika mereka mengelu-elukan teknologi 3G dan 4G, atau 4,5G atau 4G LTE (long term evolution)?
Beda dengan jenjang 1G ke 2G lalu ke 3G—sampai 3,75G – dan 4G yang bisa dikatakan merupakan proses kenaikan kelas, masuknya 5G bukan berarti 4G naik kelas. 5G beda dan unggul karena punya kemampuan menggunakan berbagai sarana komunikasi secara bersamaan.
Hingga 4G, layanannya hanya bisa digunakan untuk komunikasi saja, tapi di 5G, ponsel, alat perkantoran, kota cerdas, rumah tangga, kendaraan dan sebagainya bisa sekaligus digunakan. Persyaratan untuk mengoperasikan 5G berupa pemilikan spektrum frekuensi tinggi dengan lebar pita (bandwidth) 40 MHz sampai 100 MHz.
Spektrum jelas, harus milimeter band atau frekuensi tinggi gelombang pendek, 30 GHz hingga 300 GHz. Namun penggunaan frekuensi ini berdampak pada kemampuan cakupan BTS (base transceiver station) yang sempit, hanya 200 meter sampai puluhan meter saja, beda dengan spektrum 900 MHz hingga 2100 MHz yang cakupannya bisa 5 kilometeran.
Cakupan pendek punya keuntungan, kapasitasnya besar karena setiap frekuensi yang dipancarkan bisa digunakan ulang di sel seberang (re use). Sehingga untuk cakupan radius 5 kilometer jika berteknologi 900 MHz hanya didapat 2.000-an pengguna aktif, di milimeter band bisa didapat 100.000-an pengguna.
Diganti robot
Karakteristik spektrum (milimeter band) ini, transmisinya ber-latensi rendah, hanya kurang dari satu milidetik, sementara 4G masih “lamban”, sampai 40 milidetik. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan data dari tempat pengiriman hingga sampai tujuannya yang diukur dalam milidetik.
Dari sisi ini, jelas biaya modal (capex – capital expenditure) operator tinggi sebab jarak antar-BTS menjadi hanya puluhan atau seratusan meter, yang ujung-ujungnya membuat biaya komunikasi sekitar 10 kali lebih mahal dibanding pakai layanan 4G LTE. Namun jelas, siapa pun yang sempat menikmati layanan 5G akan enggan kembali ke 4G, karena, contohnya, sebuah viedo film panjang kualitas HD bisa ditampilkan utuh dalam hitungan milidetik, tinggal kuat bayar biaya datanya atau tidak.
Menelepon lewat ponsel, meski sudah 4G, bisa sampai satu menit sebelum tersambung karena sistem mencari-cari keberadaan ponsel yang dipanggil. Dengan 5G begitu selesai menekan nomor ponsel tujuan, tak sampai satu milidetik, komunikasi sudah tersambung. Juga internet, data besar tidak perlu lagi dipecah-pecah seperti sekarang sebelum dikirim, karena dengan 5G, data utuh sampai 20 giga pun langsung terkirim.
Di mana pun, layanan 5G hanya akan diunduh oleh kalangan industri, manajemen kota cerdas (smart city), korporasi atau para sultan yang tidak peduli berapa pun biaya layanannya. Rumah para sultan ini nantinya tidak perlu punya bediende (pembantu) lagi, karena hampir semua bisa dikerjakan robot.
Jangan-jangan profesi pengemudi juga terancam, karena akan banyak mobil swa kendali, autonomous vechicle sepertI yang sudah didemonstrasikan Telkomsel ajang AsIan Games tahun 2018. Mobil demikian ini akan berjalan sendiri tanpa sopir dengan arah dan tujuan yang sudah diprogram.
Di sini, keunggulan latensi rendah yang berperan. Kalau data pengendalian terlambat sampai sedikit saja dalam hitungan milidetik, si mobil akan ngeloyor seenaknya yang dapat menimbulkan kecelakaan.
Layanan 5G akan sangat mendukung industri 4.0 seperti dicanangkan Presiden Joko Widodo, walau dampaknya mengenaskan. Karyawan pabrik terancam PHK, karena banyak hal, termasuk satpam, bisa digantikan oleh robot, seperti pernah dipamerkan oleh Smartfren di satu pabrik industri di Jakarta Utara.
Di pabrik itu semua proses produksi dijalankan robot. Manusia hanya turun tangan ketika ada kendala, itu pun setelah drone memantau dan menganalisa kerusakan yang terjadi.
Kata Presiden Indonesia kedua, Suharto, “Jer basuki mawa beyo,” mendapat kesejahteraan itu tidak gratis. (hw)