WWW.SINYALMAGZ.COM – International Telecomunication Union (ITU) punya study yang menyebutkan bahwa setiap peningkatan 10% sektor digital sebuah negara akan meningkatkan 400% produktivitas berbagai sektor. Salah satu yang mendorong hal tersebut adalah keberadaan Internet of Things (IoT) yang didefinisikan sebagai sebuah infrastruktur global bagi masyarakat yang memungkinkan layanan canggih dapat terhubung secara fisik dan virtual menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Teguh Prasetya, praktisi IoT Indonesia mengatakan bahwa ketersediaan jaringan sangat mempengaruhi keberlangsungan industri IoT dengan beragam solusinya. “Meski hanya memiliki porsi 9% dari keseluruhan hal yang mendasari IoT, namun tanpa jaringan internet sebuah perangkat canggih tidak akan berfungsi istimewa lagi,” katanya.
Namun hal itu dapat dilakukan dengan berbagai catatan. Salah satu yang terpenting, menurut Teguh adalah soal kesiapan operator dalam meningkatkan kualitas jaringan sehingga mampu mengakomodir solusi yang dihadirkan oleh IoT.
Konsolidasi bisnis atau merger antaroperator seperti yang dilakukan oleh dua operator: Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia adalah langkah bagus untuk menuju ke era transformasi digital yang akan ditandai dengan beragam solusi IoT. Pria yang juga Founder Asosiasi IoT Indonesia ini membuka data tentang IoT pada sektor retail. Pada 2019, jumlah smarthome di Indonesia baru mencapai 1,5 juta. Pada 2020 sudah meningkat hingga mencapai 6,5 juta. Bukan tidak mungkin pada 2021 akan menembus 12,5 juta smarthome.
Padahal, menurut Teguh, masih terbuka lagi potensi rumah-rumah yang akan menikmati solusi smarthome sebesar 60 juta. Ketika pasar IoT tumbuh sebenrnya akan terjadi peningkatan konsumsi data. Menurutnya, rata-rata kebutuhan data per orang per bulan masih 10 GB. Sementara Malaysia sudah mencapai 10 GB. Jika sudah sampai dua digit maka sebenarnya kebutuhan akan solusi IoT semakin nyata.
Inilah yang ia sebut sebagai tantangan operator di masa depan. Menurutnya, operator dapat lebih banyak masuk ke industri IoT dan bertransformasi menjadi digital solution company untuk mendatangkan pendapatan yang cukup tinggi.
“Sepertinya rekan-rekan operator sudah punya unit khusus yang mengembangkan IoT. Modal utama berupa frekuensi sudah ada, sehingga siap untuk dikembangkan dari jarigan 4G ke 5G. Selanjutnya, bisa menyediakan solusi platform yang menyasar industri-industri tertentu. Peluang ini masih cukup terbuka lebar celahnya,” tambah Ketua Bidang Industri dan Kemandirian IOT, AI dan Big Data (TRIOTA) Masyarakat Telematika Indonesia / MASTEL) ini.
Bahkan, kata Teguh, Indosat Ooredoo saja sebenarnya sudah memperoleh pendapatan dari sektor solusi IoT. Ia menyebut pendapatan dari solusi bisnis mencapai sekitar Rp 3 triliun.
Sementara Tri, menurut Teguh, pada induknya Hutchison sendiri malah telah menawarkan banyak sekali solusi bisnis berbasis IoT. Dan pasarnya datang dari berbagai belahan dunia.
Kebutuhan pasar IoT di Indonesia cukup besar dan penetrasinya bisa ke berbagai sektor industri seperti manufaktur, kesehatan, agrikultur, retail, sektor publik, dan lain sebagainya, termasuk sector telekomunikasi dan media. Ditunjang juga dengan kondisi pasar aplikasi dan platform IoT di Indonesia juga terus berkembang. Kebutuhan setiap tahunnya meningkat signifikan dan berpotensi naik hingga 78% di tahun 2025.
Implementasi IoT juga memiliki potensi yang besar pada efisiensi biaya, jaminan pertumbuhan pendapatan, mempermudah quality control sesuai standar yang ditetapkan, keamanan lebih tinggi dan keselamatan yang lebih terjaga.
IoT sendiri menduduki urutan pertama dari 4 industri teknologi teratas selain Artificial intelligence, Cloud Infrastructure, dan Big Data / Analytics yang memberi dampak berdasarkan survei dari Deloitte. Industri ini bahkan tidak terpengaruh oleh pandemi yang terjadi sekarang. Melihat potensi dan perkembangannya ke depan, dapat dikatakan bahwa IoT berpeluang cukup tinggi sebagai salah satu pemasok pendapatan bagi operator.
Konsolidasi Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia tentu akan memperkuat mereka untuk bertarung di industri IoT. Dengan semua infrastruktur yang dimiliki paling tidak mereka berada di urutan kedua teratas.
Teguh berpendapat bahwa pasca-merger membuat operator akan berbenah. Paling tidak ada tiga aspek yang akan dilakukan oleh operator konsolidasi untuk bersiap di industri IoT, antara lain;
- Konsolidasi alat produksi, mulai BTS dan infrastruktur lain sehingga operator dapat menyajukan jaringan dan gateway yang dibutuhkan untuk solusi IoT.
- Optimalisasi solusi dan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan bisnis (korporasi) dan non-bisnis (retail), di mana hadir beragam pilihan.
- Pengelolaan platform yang terdiri dari manajemen perangkat, sistem keamanan bagi user maupun korporat, kemampuan analitik dan sebagainya.
Dan, beberapa hal inilah tulang punggung dari terlaksananya IoT yang dianggap mampu menjadi motor dari transformasi digital di Indonesia. Asal tahu saja, menurut riset Asosiasi ICT Indonesia, pada tahun 2025 nanti permintaan potensial di sektor telco sendiri tersedia sebesar 12 miliar dolar. Jumlah ini adalah yang terbesar dari sembilan bidang yang diharapkan akan memanfaatkan solusi IoT.
Jadi, IoT adalah road map yang potensial dan siap menambah pundi pendapatan operator telekomunikasi. (*)