INDUSTRI telko di Indonesia tidak sehat. Di seputar lima operator papan atas, penguasaan spektrum frekuensi tidak sebanding dengan jumlah pelanggan riil mereka.
Cara kebijakan pemerintah masa-masa lalu yang acak-adul soal membagi frekuensi membuat ada operator yang harus membeli frekuensi, ada yang gratis. Bahkan dengan cara akuisisi, misalnya XL Axiata mengakuisisi Axis pun, belum membuat masalahnya selesai.
Ada operator yang pelanggannya kurang dari sepertiga pelanggan operator lain tetapi lebar pita frekuensi mereka beda separuh lebih. Lihat saja, XL Axiata punya pelanggan 56 juta menguasai lebar pita 45 MHz, sementara Telkomsel yang punya 180 juta-an pelanggan, lebar pitanya tidak tiga kali lipatnya, hanya 82,5 MHz.
Lebih ekstrem, Smartfren hanya punya pelanggan 11 juta sesuai laporan keuangan mereka, punya lebar pita 40 MHz. Indosat punya pelanggan tinggal 55 juta pada akhir tahun lalu, punya lebar pita 47,5 MHz, tetapi Hutchison Tri Indonesia (Tri), pelanggan 33 juta seperti klaim mereka, punya lebar pita 25 MHz.
Kepincangan terjadi dan dibiarkan berlarut-larut, memunculkan perang tarif yang menguntungkan pelangggan namun menerpurukkan operator yang akhirnya sulit melakukan investasi jaringan. Perang psikologis (psywar), pernah terjadi ketika Smartfren mengklaim kecepatan unduh dan unggah mereka lebih tinggi dan lebih bagus dibanding Telkomsel.
Tentu saja, dengan lebar pita separuh dari Telkomsel dan pelanggan hampir seperduapuluhnya, ya “waras” kalau Telkomsel keok, apalagi itu bandingan dilakukan di kota besar. Coba perbandingkan layanan yang sama di pelosok, misalnya di Tual, Maluku Tenggara tempat kelahiran mantan Dirut Telkomsel, Bajoe Narbito.
Yang keok tidak cuma Smartfren. Semua operator lain.
Saat ini Indonesia punya enam operator seluler untuk penduduk 260 juta, sementara China, misalnya, 1,3 miliar penduduk hanya tiga operator. Imbauan agar operator berkonsolidasi ditanggapi keluhan, UU Telekomunikasi tahun 1999 mengharuskan frekuensi dikembalikan oleh operator yang diakuisisi.
Namun rancangan peraturan menteri (PM) yang akan terbit tidak lagi mengharuskan operator mengembalikan (sebagian) frekuensi akibat konsolidasi. Tetapi tetap saja PM itu akan membuat pusing operator dan mengendorkan minat mereka berkonsolidasi.
Aturan baru, ketika operator A mengakuisisi operator B lalu frekuensinya digabung, akan dilihat apakah jumlah frekuensi sudah sepadan dengan jumlah gabungan pelanggan. Jika ternyata frekuensi gabungan menjadi terlalu lebar, pemerintah akan menghitung jumlah lebar pita berapa sebenarnya yang “pantas”. Lalu frekuensi sisanya akan disimpan pemerintah, paling lama lima tahun.
Jika dalam masa lima tahun itu jumlah pelanggan operator tadi bertambah sampai memadai, frekuensi tadi akan dikembalikan, operator hanya membayar BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi. Namun kalau batas itu terlewati, pemerintah akan melelangnya.
Jadi ketika misalnya Indosat Ooredoo mengakuisisi Smartfren seperti diisu-santerkan, jumlah frekuensi Indosat akan menjadi 87,5 MHz dan pelanggan gabungan menjadi 66 juta, atau dengan Tri, frekuensi jadi 72,5 MHz, pelanggan jadi 88 juta. Bandingkan dengan Telkomsel yang punya 82,5 MHz pelanggannya 180-an juta.
Bayangkan apa yang terjadi, berapa lebar pita yang akan “dikandangkan” atau lalu dilelang.***